Ilustrasi

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang judicial review UU Cipta Kerja. MK mencecar ahli dari Presiden, Ahmad Redi, soal salah ketik UU Cipta kerja hingga proses pembentukan UU itu.

(SPNEWS) Jakarta, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang judicial review UU Cipta Kerja. MK mencecar ahli dari Presiden, Ahmad Redi, soal salah ketik UU Cipta kerja hingga proses pembentukan UU itu.

“Bisa nggak kami diberikan batasan soal clerical error, jadi kesalahan-kesalahan kecil itu. Bagaimana kalau perbaikan itu mengubah makna. Salah satu hukum secara tekstual, salah meletakkan koma saja, bisa mengubah makna. Apakah perubahan-perubahan kecil seperti itu masih dikategorikan clerical error,” kata hakim konstitusi Saldi Isra dalam sidang di MK yang disiarkan channel YouTube MK, (9/9/2021).

“Bagaimana kalau dilakukan perubahan frase yang konsekuensinya sangat serius. Soal ‘diatur dengan’ atau ‘dengan’ segala macamnya itu. Apakah itu bisa dikategorikan clerical error juga?” sambung Saldi Isra.

Saldi juga mempertanyakan apakah salah ketik dibolehkan dalam pasal dalam UU. “Bagaimana kalau ada ayat/pasal yang dihapus? Apakah itu kategorinya clerical error juga?” cecar Saldi, yang juga guru besar Universitas Andalas Padang.

Adapun hakim konstitusi Suhartoyo juga meminta pemahaman lebih jauh soal salah ketik tersebut dari kaca mata Ahmad Redi.

“Mengenai salah ketik, kemudian anda me-refer soal yurisprudensi. Kalau putusan MA hanya satu lalu Anda nilai sebagai yurisprudensi, sebenarnya kriteria yurisprudensi seperti apa? Apakah Indonesia menganut yurisprudensi dengan sistem hukum yang bukan common law,” tanya Suhartoyo.

Baca juga:  DALAM PERSIDANGAN MK DEKAN FH UNSOED SEBUT UU CIPTA KERJA ADALAH TEROBOSAN

Suhartoyo juga mempermasalahkan kesiapan pemerintah dalam membentuk UU Cipta Kerja. Sebab, tidak dikenal model omnibus law di Indonesia.

“Soal kesiapan infrastruktur UU Cipta Kerja dan bagaimana membedah ekstensifikasi. Saya tahu ekstensifikasi itu kalau di pertanian sana. Nah apakah itu kemudian sebenarnya anda ingin menjawab bahwa UU 12/2020 belum siap? Untuk mengakomodir berkaitan dengan pembentukan UU yang berjenis omnibus law?” kata Suhartoyo.

“Kalau amanat pasal 22A benar, pembentukan UU diatur dengan UU, bukan dalam UU. Apalagi dalam spesies pembentukan, ini sebenarnya perubahan, pembentukan, pencabutan dan sebagainya. Tapi Pak Ahmad Redi tidak dalam wilayah iu menjelaskan. Nah apakah ini sebenarnya ada kegamangan dalam menyiapkan dalam perspektif ini? Jangan kemudian Pak Ahmad Redi mlipir-mlipir dicarikan yang seolah ada wadahnya, pakai akrobat positiflah, kemudian pakai ekstensifikasi. Itu yang harus dijelaskan di forum persidangan ini,” sambung Suhartoyo.

Dalam paparannya, Ahmad Redi menyatakan menyatakan salah ketik hal yang lumrah dalam penyusunan peraturan. Seperti saat Amerika Serikat salah dalam Declaration of Independence. Pada 1934, legislatif Rusia juga pernah salah ketik dalam UU-nya, kata Redi.

“Dalam konteks pidana kita, Penjelasan Pasal 197, apabila terjadi kekhilafan penulisan maka kekhilafan penulisan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum,” kata Redi.

Menurut Redi, omnibus law sebagai metode sakti dalam memecahkan kebuntuan dalam praktik berhukum di Indonesia. Pada 2015, Redi pernah membuat artikel di sebuah media online tentang gagasan awal penggunaan nomenklatur omnibus law dalam khazanah ilmu pengetahuan hukum Indonesia. Konsep omnibus law tumbuh dan berkembang di negara-negara yang menerapkan sistem common law, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain.

Baca juga:  MANTAN KETUA MK SARANKAN PEMERINTAH MENYUSUN KEMBALI UU CIPTA KERJA

“Omnibus law secara konsepsi mengandung makna sapu jagat, merupakan aturan yang bersifat menyeluruh atau tidak terikat pada satu peraturan saja, namun dalam satu aturan mengatur berbagai hal dan memiliki kuasa atas aturan yang lain,” ungkap Redi.

Sebagaimana diketahui, salah ketik bertabur di UU Cipta Kerja. Salah satu kesalahan pada pengetikan di UU Nomor 11 Tahun 2020 ini ada pada Pasal 6. Pada halaman 6 Pasal 6 UU Cipta Kerja seharusnya hanya merujuk kepada ‘Pasal 5’ saja. Semestinya tidak menyertakan kalimat ‘ayat (1) huruf a’.

Pasal 757 juga terdapat kesalahan, yaitu:

(3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

(4) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

Ayat (5) di atas seharusnya berbunyi:

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.

SN 09/Editor