Foto Mahkamah Konstitusi
(SPNEWS) Jakarta, Perubahan pada Pasal 56 dan Pasal 59 Undang-Undang Cipta Kerja telah memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pekerja buruh dalam pelaksanaan hubungan kerja yang berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT). Sebab, dalam hubungan kerja berdasarkan PKWT tersebut, terminasi terjadi sesuai dengan waktu yang disepakati atau selesainya pekerjaan yang diperjanjikan. Pekerjaan dianggap selesai sesuai dengan ruang lingkup dan batas yang disepakati. Setelah pekerjaan diselesaikan maka hubungan kerja otomatis berakhir.
Hal tersebut disampaikan Sahat Sinurat selaku Ahli yang dihadirkan Pemerintah/Presiden dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Sidang ini digelar pada Senin (26/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah ini digelar untuk dua permohonan, yakni permohonan Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja, sekaligus permohonan Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan.
Dalam keterangannya, Sahat menyatakan perubahan pada Pasal 56 dan Pasal 59 Undang-Undang Cipta Kerja seiring dengan ketentuan aturan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 yang mengatur batasan jangka waktu PKWT selama lima tahun. Sebelumnya, dalam ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diperbolehkannya perpanjangan PKWT hingga dua tahun atau melakukan pembaruan PKWT setelah masa tenggang waktu 30 hari. Dalam praktiknya, sambungnya, perpanjangan dan pembaruan sering dianggap sama. Sehingga ada kecenderungan pekerja buruh dan pengusaha membuat adendum PKWT untuk mengatasi perpanjangan, meskipun pembaruan mensyaratkan masa tenggang waktu 30 hari, namun terkadang pekerja tetap bekerja tanpa ikatan hubungan kerja.
Bahkan, jelas Sahat, Pasal 51 UU Ketenagakerjaan tersebut menyatakan perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Sedangkan pada ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Cipta Kerja menyatakan apabila PKWT dibuat secara lisan maka status hubungan kerja dinyatakan sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Dan apabila dikaitkan dengan pengaturan tentang masa percobaan dalam hubungan kerja berdasarkan PKWT, Ahli berpendapat hal demikian tidak dimungkinkan adanya masa percobaan.
“Apabila pekerjaan yang terikat dalam hubungan kerja berdasarkan PKWT sudah barang tentu tergolong pekerjaan yang profesional. Sehingga dengan adanya klausul Pasal 58 UU Cipta Kerja ini mempertegas apabila PKWT mensyaratkan adanya masa percobaan kerja, maka masa percobaan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung,” jelas Sahat dalam Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK, Jakarta.
Berikutnya Sahat menyampaikan pandangannya tentang perubahan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan yang harus disesuaikan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Terkait dengan pemberitahuan PHK sebelum dicapai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, maka pengusahan harus tetap melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai Pasal 82 angka 49 dan Pasal 157A UU Cipta Kerja. Pada ketentuan Pasal 158 UU Cipta Kerja yang mengatur PHK karena kesalahan berat, maka PHK tersebut dapat dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi yang dalam pertimbangan hukumnya bahwa Pasal 158 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memutuskan anak kalimat bukan atas pengaduan pengusaha tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Sehingga ketentuan Pasal 154A ayat (2) UU Cipta Kerja yang mengatur alasan PHK dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan ataupun perjanjian kerja bersama sebagai hukum otonom yang berlaku di perusahaan adalah tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tandas Sahat.
Sebagai tambahan informasi, Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 diajukan oleh para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), dkk. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja cacat secara formil. Para Pemohon juga mempertanyakan tentang persetujuan DPR RI atas penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Para Pemohon menilai hal ini berarti sama halnya DPR RI menyetujui alasan kegentingan memaksa Presiden dalam menetapkan Perppu Cipta Kerja. Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian atau setidak-tidaknya potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan. Secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Secara umum, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Sementara itu, Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan. Pemohon menguraikan dalil permohonannya. Ia mengatakan pemohon berusia produktif bekerja meskipun pemohon belum bekerja tetapi secara potensial pemohon pasti bekerja. Ketika pemohon menyadari pemberlakuan Pasal 56 ayat (3) UU Cipta Kerja yang jelas-jelas perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya sangat potensional sekali ketika PKWT itu tidak ada batas waktu dan berapa kali PKWT diperpanjang maka timbul yang namanya eksploitasi pekerja. Tentu sangat rawan sekali mengingat pekerja ini merupakan pihak yang lemah, pihak yang sangat rentan sekali dan pengusaha powerfull. Sehingga ketika pengusaha melihat keberadaan pasal a quo pengusaha akan berpikir bisa saja melakukan perpanjangan kontrak PKWT lebih dari 10 tahun bahkan bisa dilakukan lebih dari 2 kali. Padahal kalau kita lihat di dalam UU Tenaga Kerja yang lama itu jelas sekali bahwa PKWT paling lama adalah 3 tahun dan dapat diperpanjang 1 saja. Tetapi kalau pasal 56 ayat (3) PKWT tidak ada batas waktunya dan tidak ada ketentuan berapa kali PKWT ini diperpanjang. Artinya bisa usia lansia bisa saja seseorang tersebut diperpanjang terus sampai jadi pegawai tetap.
Pendapat Pemohon ini berdasarkan bahwa perusahaan dapat seenaknya menetapkan jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu terlebih lagi bahwa pemberlakuan Pasal tersebut dapat memperpanjang Kembali dalam jangka waktu kemauan perusahaan tanpa repot-repot mengangkat. Dalam permohonan, Pemohon menjelaskan bahwa secara umum pasal a quo mengatur tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang penyelesaiannya didasarkan pada dua keadaan, yaitu jangka waktu selesai atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pemohon kemudian menjelaskan norma yang mengatur tentang hal serupa pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Kedua perkara tersebut meminta agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan keberlakuan UU Cipta Kerja.
SN 09/Editor