Foto Istimewa

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memasukkan sembilan bentuk pidana kekerasan

(SPNEWS) Jakarta, UU TPKS memasukkan sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; kekerasan seksual berbasis elektronik; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; dan perbudakan seksual.

Dibandingkan dengan usulan awal, ada dua poin yang dihapus, yaitu pemerkosaan dan aborsi. Dalam pembahasannya, para pendamping korban kekerasan seksual mengeluhkan hal tersebut karena menurut mereka hingga kini tidak ada layanan dan prosedur aborsi aman bagi korban pemerkosaan, walaupun aturan aborsi sudah ada di Undang-Undang Kesehatan.

“Bagaimana mungkin RUU yang bicara tentang kekerasan seksual, tapi tidak berbicara pemerkosaan dan aborsi. Ini rohnya RUU TPKS menjadi hilang,” kata Dian Novita dari LBH Apik Jakarta, pada (04/04/2021).

“Kemenkes belum mengeluarkan petunjuk teknis atas layanan aborsi aman bagi korban pemerkosaan sehingga para korban tidak memiliki pilihan.”

Willy Aditya mengatakan, keputusan itu diambil karena pidana pemerkosaan akan diatur dalam RKUHP dan aborsi telah ada dalam Undang-Undang Kesehatan.

Baca juga:  DPD SPN PROVINSI BANTEN SALURKAN PAKET SEMBAKO KE KABUPATEN TANGERANG

“Kan tidak boleh dua norma hukum itu bertabrakan, jadi kita menggunakan undang-undang yang sudah existing.

“Kebetulan kita kan yang mewakili pemerintah juga, dalam hal ini Wamenkumham juga yang bertanggung jawab terhadap RKUHP pemerkosaan memang tidak dimasukkan karena penjelasan beliau ada di RKUHP dan yang kedua aborsi itu ada di Undang-Undang Kesehatan,” kata Willy.

Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) dan Forum Pengada Layanan (FPL) untuk advokasi RUU TPKS mengatakan “pengaturan tindak pidana perkosaan dalam KUHP belum sepenuhnya memiliki keberpihakan terhadap korban” karena hanya mengakomodasi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi penis ke vagina yang dapat dibuktikan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi.

Menurut mereka, meski tindak pidana perkosaan akan diatur dalam RKUHP, tidak ada jaminan pengaturan perkosaan dengan ragam jenis, cara, modus, dan tujuannya, seperti yang diharapkan ada dalam RUU TPKS.

“Mengingat kerigidan pengaturan dalam RKUHP lebih banyak mengatur persoalan kejahatan pada umumnya. Sehingga substansi pasal perkosaan dalam RUU KUHP diatur lebih umum, dikarenakan konsepsi pembahasan RKUHP lebih kepada pokok-pokok pembahasan pada hukum pidana materiil,” kata JMS dan FPL dalam keterangan tertulisnya pada 7 April lalu, setelah RUU TPKS selesai dibahas oleh Panja Baleg DPR.

Baca juga:  MEDIASI PERTAMA KASUS PERSELISIHAN DI PT MPI

Meskipun dinilai masih belum sempurna, UU TPKS dianggap memiliki beberapa capaian karena berpihak pada korban, seperti yang disinggung Willy dalam rapat paripurna. Undang-undang itu mengizinkan lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat ikut berperan dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual.

Selain itu, ada juga ketentuan yang melarang pelaku kekerasan seksual mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. “Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban kekerasan seksual agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku,” tulis JMS dan FPL dalam keterangan persnya.

Terakhir, undang-undang ini juga mengatur ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan, pemulihan, dan perlindungan.

SN 09/Editor