Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 153 Ayat 1 huruf f Undang-Undang Nomor 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan.
(SPN News) Jakarta, MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 153 Ayat 1 huruf f Undang-Undang Nomor 13/2003, pasal tersebut mengatur soal larangan menikah dengan teman sekantor yang biasa diatur perusahaan.
Dalam pertimbangan putusannya, MK menyatakan bahwa suatu perusahaan tidak bisa menjadikan ikatan perkawinan antara pekerja atau buruh dalam satu perusahaan sebagai dasar pemutusan hubungan kerja (PHK).
Mahkamah menilai, aturan tersebut tidak sejalan dengan norma dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) UU 39/1999 dan Pasal 6 ayat (1) International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya).
“Pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang tidak dapat direncanakan maupun dielakkan. Oleh karena itu, menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas pekerjaan serta hak untuk membentuk keluarga, adalah tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto, dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2017).
Menurut Aswanto, ketentuan perusahaan yang melarang perkawinan dengan teman sekantor ditambah ancaman PHK membuat posisi pihak perusahaan dan pekerja atau buruh menjadi tidak seimbang.
Sebab, pekerja menjadi pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah karena sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan.
Dengan adanya posisi yang tidak seimbang tersebut, maka filosofi kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi tidak sepenuhnya terpenuhi.
“Berdasarkan pertimbangan demikian maka kata “telah” yang terdapat dalam rumusan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan tidak dengan sendirinya berarti telah terpenuhinya filosofi prinsip kebebasan berkontrak,” kata Aswanto.
Selain mengabulkan permohonan, MK juga menyatakan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 Ayat 1 huruf f bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam berkas nomor perkara 13/PUU-XV/2017 delapan pegawai Perusahaan Listrik Negara (PLN) mempermasalahkan pasal yang mengatur soal larangan menikah dengan teman sekantor yang biasa diatur perusahaan.
Menurut mereka, frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama” menjadi celah bagi perusahaan untuk melarang pegawainya menikah dengan kawan sekantornya.
Jika pegawai tersebut tetap ingin menikah, biasanya perusahaan mengharuskan salah satu orang mengundurkan diri dari perusahaan. Aturan tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 Ayat 1, Pasal 28C Ayat 1, Pasal 28D Ayat 2 UUD 1945. Oleh karena itu, pemohon meminta MK agar frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama” dihapuskan.
Shanto dikutip dari Kompas.com/Editor