​Aturan yang tidak berpihak kepada buruh membuat buruh semakin kehilangan peluang untuk sejahtera.

Arus modernisasi yang telah membawa Indonesia menuju Industrialisasi. Pembangunan ekonomi berorientasi Industri meningkat pesat. Dan untuk mendukung pembangunan Industri ini pemerintah akhirnya bekerjasama dengan lembaga donor internasional seperti IMF maupun World Bank. Kerjasama inilah yang kemudian memberikan peluang pada mereka untuk melakukan intervensi terhadap Indonesia. 

Oleh karena itu modernisasi yang ada lebih identik atau bahkan sarat dengan campur tangan pihak asing. Bantuan yang diberikan oleh negara maju tidak sepenuhnya murni, namun mengandung kepentingan-kepentingan tertentu seperti masuknya perusahaan-perusahaan asing dan bahkan campur tangan pihak asing dalam pembuatan konstitusi. Hal inilah yang kemudian membawa Indonesia terhadap masalah baru, yaitu ketergantungan terhadap negara maju baik dengan hutang maupun hal-hal lain. 

Pembangunan ekonomi berorientasi Industri ini juga didasari banyaknya pengangguran yang mengakibatkan meningkatnya kemiskinan. Kemiskinan ini menimbulkan banyak dampak seperti rakyat yang mau bekerja apa saja dengan upah yang minim serta tanpa kesejahteraan sekalipun.

Defisit lapangan kerja inilah yang mengakibatkan posisi tawar buruh semakin menurun. Buruh semakin terkotak-kotakkan dan termarjinalkan. Dunia perburuhan di Indonesia sampai saat ini belum mencapai kondisi memuaskan yang ada memprihatinkan. 

Kondisi buruh sangat menyesakkan dengan segala permasalahan kehidupan yang dihadapinya. Mulai dari permasalahan rumah tangga, harga barang-barang yang terus naik, pemerintah yang berpaham neoliberal, ketidakpastian hidup, tidak adanya jaminan sosial (karena sejatinya Jaminan Sosial yang ada adalah sebuah asuransi), bahkan sampai soal arti pekerjaan bagi kehidupannya. Sementara itu, ditengah-tengah keterpurukan ekonomi buruh, pemerintah sejak tahun 2003 memberlakukan Undang-Undang perburuhan yang melegalkan buruh kontrak dan buruh outsourching yang semakin memperparah nasib buruh di Indonesia.

Dalam undang-undang No 13 Tahun 2003 salah satu pasal yang krusial adalah diatur atau dilegalkannya sistem kerja kontrak dan outsourcing (subkontrak). Meskipun batasannya telah diatur, namun secara aktual dalam aplikasinya telah merubah status buruh dari tetap menjadi kontrak dengan berbagai pola. Mulai dengan PHK massal, pemutihan (dipaksa mengundurkan diri), perekrutan baru, relokasi dan lain sebagainya. Sementara itu, banyak implikasi negatif yang dialami buruh dari sistem kontrak ini. Buruh kontrak di Indonesia dibayar dengan murah, tidak mendapat pesangon jika mengalami Pemutusan Hubungan Kerja, dapat diganti kapan saja, dan yang paling parah hubungan kolektif pekerja telah dirubah menjadi hubungan individual. 

Baca juga:  SPN KUTAI TIMUR MENDUKUNG CALON KADISNAKER YANG PRO BURUH

Karena itu posisi tawar buruh menjadi sangat rendah atau bahkan lenyap. Itulah yang disebut Labor Market Flexibility  (LMF) atau fleksibilitas pasar tenaga kerja dan inti dari LMF yang sebenarnya adalah membuat upah atau pendapatan buruh jadi murah, nurut tidak menuntut meskipun ditindas.

Secara substansi, UU ini tidak memberi perlindungan bagi buruh. Buruh dilepas begitu saja menghadapi penguasa yang mempunyai kekuatan yang sangat besar. Perlindungan dalam banyak hal, termasuk para wanita, yang secara kodrati harus haid, hamil, melahirkan, maupun menyusui. Pada UU ini disebutkan bahwa perjanjian kerja pada sistem kerja kontrak dan outsourching dibuat berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak atau dengan kata lain posisi buruh disejajarkan dengan pengusaha. Artinya, pengusaha berhak memecat, mem-PHK buruh semaunya, tanpa sebab atau dengan sebab. 

Prinsip larangan dan mekanisme izin PHK tidak diatur sama sekali. Sedangkan dalam hal ini buruh sama sekali tidak mempunyai posisi tawar, sehingga sudah pastilah kepentingan pengusaha yang akan mendominasi perjanjian tersebut. PHK bisa dilakukan kapan saja tanpa harus terhalang aturan hukum. Negara menghindar atau bahkan lari dari tanggung jawabnya kepada warga negara dalam mempertahankan hak atas pekerjaan.

Dari sini terlihat bahwa sebenarnya posisi pemerintah bukanlah sebagai mediator yang bersifat netral antara buruh dengan pengusaha dalam membina hubungan industri yang produktif, melainkan sebagai mediator pengusaha untuk menindas buruh, dan bahkan sebagai pelaku usaha itu sendiri. Peran dari lembaga donor seperti IMF dan World Bank juga terasa dalam pembuatan kebijakan-kebijakan sosial dalam perburuhan. DPR dan pemerintah tak bisa menolak desakan dan tekanan lembaga internasional itu karena mereka telah bersepakat dalam Structural Adjustment Program (SAP). Perjanjian ini telah mengubah perlindungan negara terhadap buruh. Kepentingannya agar kapitalis internasional bisa berinvestasi secara kondusif. 

Perubahan UU tersebut dapat dilihat dari telah menghilangnya jaminan hak atas pekerjaan. Jaminan hak ini tidak dicantumkan secara jelas dan tegas karena munculnya pasal mengenai sistem kerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu). Selama ini Permenaker RI No. 2/1993 telah mengatur limitasi waktu, jenis perkerjaan yang bisa dipakai sistem kontrak, batas waktu kontrak, dan perjanjian tertulis dengan ancaman pembatalan jika diingkari dan perlindungan hukum. Ingat, buruh kontrak tidak memiliki perlindungan hukum sekuat buruh tetap. Hak-hak ini dihilangkan dalam UU No.13 Tahun 2003.

Baca juga:  DPRD PASTIKAN AKAN KAWAL PENYELESAIAN KASUS PT GNI

Undang-undang ini juga melegalisasi sistem kerja subkontrak/outsourcing. Berbagai pekerjaan yang bersifat penunjang proses produksi dapat dilimpahkan pada perusahaan outsourching. Pelegalan sistem  outsourching sama dengan melegalisasi perbudakan yang seharusnya dihapus, tetapi justru di dalam UU ini dilegalkan. Nasib para pekerja outsourching terombang-ambing tanpa pegangan yang jelas. 

Perusahaan outsourching sebenarnya layaknya calo yang meraup keuntungan yang luar biasa dari konsumen, namun ketika calo dilarang praktek, outsourching terus berjalan tanpa hambatan. Pekerja outsourching sama sekali tidak mendapatkan fasilitas dari perusahaan tempatnya bekerja. Dalam hal ini bahwa perusahaan sama sekali tidak peduli dengan kesejahteraan pekerjanya. Maka dapat dilihat dengan jelas disekitar kita kondisi buruh secara ekonomi yang semakin sulit, PHK massal dimana-mana, pengangguran terus bertambah, praktek penjualan manusia atas manusia (outsourcing melalui labor supply/agency) atau dengan kata lain inilah  sistem perbudakan modern.

Fleksibilitas pasar tenaga kerja terbukti tidak sejalan dengan peningkatan pasar tenaga kerja, dan bahkan malah memperburuk situasi perburuhan. Hak-hak buruh diminimalisir guna kepentingan kaum kapitalis untuk meraup untung yang sebesar-besarnya. Padahal dalam UU itu juga mencantumkan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi. Karena itu pemerintah kini seharusnya segera bangkit dan mengajak semua pihak yang terlibat untuk duduk bersama guna merevisi UU tersebut agar lebih mengakomodir kepentingan semua pihak, agar tak ada pihak yang termarjinalkan. Sejalan dengan itu, pemerintah juga semestinya memperketat pengawasan terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh perusahaan. Semua demi masa depan buruh, masa depan bangsa yang lebih baik! 

Dede Hermawan dari berbagai sumber/editor