Pada hakikatnya negara melalui pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin penghidupan bagi seluruh rakyatnya. Menjamin keamanan, kenyamanan, kerukunan, negara juga harus dapat memberikan penghidupan yang layak tidak hanya dengan memberikan upah minimum, kestabilan harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok, memberikan pendidikan gratis yang tidak murahan kepada anak-anak generasi penerus bangsa dan tidak kalah pentingnya adalah perlindungan atas jaminan kesehatan.
Apabila kita menelaah pelaksanaan program jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS itu nyata-nyata telah menimbulkan banyak persoalan, selain masalah pelayanan yang masih carut marut, yang menjadi kendala terbesar adalah tentang iuran. Menurut Konstitusi seperti yang disampaikan di awal tulisan jelas mengisyaratkan bahwa negara melalui pemerintah berkewajiban untuk menjamin perlindungan kesehatan bagi seluruh warga negara. Apabila kita membaca dan memahami peraturan perundang-undangan yang ada yaitu : UU No 7 Tahun 1981 Tentang Wajib lapor Ketenagakerjaan, UU No 3 Tahun 1951 Tentang Perburuhan, UU No 8 Tahun 1981 Tentang KUHP, UU N0 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, UU No 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan UU No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), maka dengan sederet undang-undang di atas cukup untuk menjadikan setiap orang bahkan termasuk orang asing yang berada di Indonesia lebih dari 6 (enam) bulan berhak untuk mendapatkan “Jaminan pelayanan kesehatan gratis seumur hidup meliputi semua jenis penyakit dan seluruh biaya dengan standar kelas yang sama”. Jadi secara aturan sudah mendukung terlaksananya pelayanan kesehatan gratis ini tinggal bagaimana itikad baik dari pemerintah untuk melaksanakannya.
Untuk membiayai program ini pemerintah dapat mengalokasikan pembiayaan dari iuran sebesar 5% dari pemberi kerja, alokasi 5% dari dana APBN dan 10% dari dana APDB maka secara otomatis setiap pekerja/buruh dan atau rakyat telah menjadi peserta saat diberlakukannya UU Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, maka “pemberi kerja menjadi objek tagihan hutang BPJS yang tidak bisa dihapus selama hidupnya ditambah denda dan bunga serta diancam sanksi administrasi dan penjara pidana sebab utang iuran BPJS tidak ada mekanisme banding atau amnesti”. Oleh karena itu perlu segera dilakukan langkah-langkah KELUAR dari kotak Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan ini untuk segera merumuskan dan menentukan Jaminan Kesehatan yang sesuai dengan Konstitusi yang ingin dikembangkan oleh Pemerintah melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sekali lagi program ini bisa terlaksana apabila pemerintah bersama-sama lembaga negara yang lain berkeinginan kuat untuk melaksanakan amanat konstitusi demi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkeadilan sosial.
Shanto dari narasumber Ketua Bidang Advokasi DPP SPN Djoko Heriono/Coed