Gambar Ilustrasi
Lebih dari 630 juta pekerja di dunia tidak mampu mendapatkan penghasilan cukup untuk membuat diri dan keluarga mereka keluar dari kemiskinan ekstrem maupun sedang pada 2019
(SPN News) New York, lebih dari 630 juta pekerja di dunia tidak mampu mendapatkan penghasilan cukup untuk membuat diri dan keluarga mereka keluar dari kemiskinan ekstrem maupun sedang pada 2019. Jumlah tersebut sama dengan 1 dari lima pekerja atau 19 persen dari total orang bekerja.
Demikian adalah hasil laporan badan PBB yang mengurus tentang ketenagakerjaan, International Labour Organization (ILO), pada (20/1). Artinya, walau jutaan orang di dunia memiliki pekerjaan, mereka terpaksa melakukannya di tengah kondisi buruk yang turut mencerminkan penghasilan rendah yang mereka terima.
Menurut definisi ILO, kelompok pekerja tersebut hanya berpendapatan kurang dari Rp 44 ribu per hari dalam konteks keseimbangan kemampuan belanja. Laporan tersebut sekaligus membuat ILO mendorong pemerintah di dunia untuk memastikan ketersediaan lapangan kerja dan jaminan kesejahteraan bagi para buruh apa pun jenis pekerjaannya.
“Bagi jutaan orang biasa, semakin sulit untuk membangun kehidupan yang lebih baik melalui pekerjaan,” kata Direktur Jenderal ILO, Guy Ryder. “Ketimpangan dan eksklusi berkaitan dengan pekerjaan yang terus ada dan bersifat substansial menghalangi mereka menemukan pekerjaan layak dan masa depan lebih baik,” tambahnya, sekaligus menekankan ini punya “dampak mengkhawatirkan untuk kohesi sosial”.
Kemudian, banyak dari 3,3 miliar pekerja di dunia yang tak mempunyai pendapatan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari kurangnya penghasilan dan dukungan finansial, setidaknya ada 1,4 miliar pekerja yang harus bekerja di sektor informal dengan gaji rendah tanpa perlindungan sosial dan hak-hak dasar. Mereka ini bisa individu yang tinggal sendiri atau masih harus membantu keluarga di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Sementara itu, secara total, ada sekitar dua juta orang di dunia yang memeras keringat dengan menjadi pekerja informal. Jumlah ini mencapai 61 persen dari keseluruhan angkatan kerja dunia pada 2019.
Pada 2019 situasi juga tidak tampak baik bagi perempuan di mana hanya 47 persen yang berpartisipasi dalam angkatan kerja. Sedangkan, angkatan kerja laki-laki berada di titik 74 persen. Kenyataan ini paling terlihat di Afrika Utara dan Arab Saudi di mana sebanyak kurang lebih 40 persen perempuan terdampak. Sementara itu, di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia di mana pencapaian pendidikan rata-rata perempuan berada di atas laki-laki, tapi kesenjangan pendapatan masih terjadi. Perempuan di kawasan tersebut mendapatkan gaji per jam 14 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Selain gender yang mengandung stereotip bahwa perempuan lebih baik mengurus urusan domestik, persoalan usia juga memengaruhi kesenjangan. Sebanyak 267 juta anak muda berusia 15 sampai 24 di dunia (atau 22 persen dari kelompok usia itu) menjadi pengangguran, tak sekolah atau tak mendapat pelatihan.
Anak-anak muda yang bekerja belum tentu bernasib baik. Di Afrika, sebanyak 95 persen angkatan kerja muda bergelut di sektor informal sehingga pendapatan dan kondisi kerja mereka di bawah kata layak. Di Eropa dan Asia Tengah, anak-anak muda kesulitan memperoleh pekerjaan berkualitas karena ketersediaan lapangan kerja bersifat sementara jauh lebih banyak.
SN 09/Editor