Foto Ilustrasi

(SPNEWS) Para pekerja sektor-sektor penting seperti layanan kesehatan dan sanitasi harus mendapatkan upah yang lebih tinggi, dan pemerintah harus membatasi tingginya gaji di industri-industri yang merusak seperti perdagangan keuangan dan penggalian bahan bakar fosil. Demikian seruan yang PBB ketika merilis laporan terbaru mengenai situasi pekerja dan kemiskinan pada hari Jumat (20/10).

“Sudah waktunya untuk membalikkan ketidakadilan ini,” kata Utusan Khusus PBB untuk kemiskinan ekstrem dan hak asasi manusia, Olivier De Schutter, dalam siaran persnya.

“Pemerintah harus menyusun daftar profesi-profesi yang paling bernilai secara sosial dan membayar mereka sesuai dengan kinerjanya itu, sembari juga membuat daftar profesi-profesi yang gajinya harus dibatasi untuk mengurangi dampak samping berbahaya dari profesi-profesi tersebut.”

Berdasarkan temuan terbaru, satu dari lima pekerja di dunia hidup dalam kemiskinan. “Sebagian besar masyarakat miskin di dunia bekerja, namun mereka tidak mendapatkan upah yang cukup untuk memenuhi standar hidup yang layak bagi diri mereka sendiri dan keluarga mereka,” kata pengantar laporan tersebut.

Banyak pekerja yang melakukan pekerjaan yang penting bagi masyarakat, seperti produksi pangan, transportasi, kebersihan dan sanitasi, mendapatkan upah minimum di negara mereka, kata laporan PBB. Bayaran upah sering kali tidak cukup untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan, terutama di tengah melonjaknya inflasi. Berdasarkan temuan PBB, upah bulanan global turun secara riil sebesar 0,9% pada paruh pertama tahun 2022 – ini merupakan pertumbuhan upah global negatif pertama pada abad ini.

Baca juga:  BURUH YOGYAKARTA TOLAK PERMENAKER BARU TENTANG JHT

“Selama 20 tahun terakhir, para pekerja telah melihat melemahnya kemampuan mereka untuk memperjuangkan upah yang lebih baik”, kata De Schutter lebih lanjut. Semakin banyak pekerja yang mempunyai kontrak yang “fleksibel” atau bersifat sementara. Kontrak di bawah standar dan isolasi pekerja mempersulit serikat pekerja untuk memobilisasi dan memperjuangkan upah yang lebih baik.

Ada juga ancaman terus-menerus bahwa pengusaha akan mengalihkan produksi ke luar negeri, di tempat lain yang berupah rendah, sehingga melumpuhkan kemampuan serikat pekerja untuk melakukan tawar-menawar. “Ada kompetisi global yang melibatkan pemerintah, yang berujung pada persaingan dalam menentukan upah,” kata De Schutter kepada DW. “Sayangnya, tidak ada masa depan bagi negara-negara yang mempertaruhkan keunggulan komparatif mereka dalam persaingan global untuk mempertahankan pekerjanya dalam kemiskinan.”

Hukum hak asasi manusia internasional menjamin hak pekerja untuk mendapatkan upah yang adil demi penghidupan yang layak untuk diri mereka sendiri dan keluarga mereka. “Masih adanya kemiskinan di dunia kerja dapat dikaitkan dengan pelanggaran terhadap jaminan-jaminan ini,” demikian tulis laporan PBB.

Baca juga:  ALIANSI BURUH CIREBON GRUDUK DISNAKER

Menurut laporan tersebut, upah layak harus memberikan pekerja dan keluarga mereka standar hidup yang layak, atau setara dengan setidaknya 60% dari upah median di negara tersebut. “Pemerintah harus berhenti mempercayai fiksi bahwa upah ditetapkan sebagai hasil pertemuan kurva penawaran dan permintaan pada titik ekuilibrium di pasar tenaga kerja,” kata De Schutter.

Pekerja cenderung diberi imbalan atas nilai ekonomi yang mereka ciptakan dibandingkan kontribusi mereka kepada masyarakat. Hal ini terutama berlaku pada pekerjaan perawatan, yang secara historis dilakukan oleh perempuan dalam rumah tangga tanpa mendapat bayaran. Pandangan ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya upah bagi pekerja di sektor penting.

“Alih-alih merancang skema untuk membantu orang-orang yang berada dalam kemiskinan, para ekonom akan bertindak seperti pedagang. Alih-alih memproduksi makanan untuk masyarakat, para petani akan menghasilkan tanaman komersial yang permintaannya ada di pasar bernilai tinggi di negara-negara kaya,” kata laporan PBB.

SN 09/Editor