MK menolak permohonan uji materi perkara Nomor 41/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh para pengemudi ojek online, dengan kata lain ojek online tidak dianggap sebagai alat transportasi umum yang legal
(SPN News) Jakarta, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi perkara Nomor 41/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh para pengemudi ojek online. Artinya, ojek online tidak dianggap sebagai alat transportasi umum yang legal. Penolakan ini didasarkan dengan pertimbangan bahwa sepeda motor bukan kendaraan yang aman sebagai angkutan umum.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan ditolaknya permohonan tersebut oleh MK sudah mempertimbangkan berbagai macam aspek. “Kami akan mencermati tentang apa yang ada dalam keputusan-keputusan itu, yang paling penting adalah ojek online tetap kami upayakan ada,” ucapnya (29/6/2018).
Rencana selanjutnya, Menteri Budi akan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola ojek online. “Ojek online sudah banyak memberikan suatu layanan kepada kami, jadi sekalipun tidak masuk itu kami akan melimpahkan itu kepada Pemda,” ucap dia.
Kendati demikian, MK menyatakan ojek online tetap dapat beroperasi meski tidak terdapat dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Sebab, polemik ojek online dianggap tidak termasuk dalam permasalahan konstitusional.
Pengemudi ojek online menggugat Pasal 47 ayat 3 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. Mereka keberatan atas ketentuan pasal tersebut yang dianggap tidak mengatur motor sebagai angkutan umum. Padahal, jumlah ojek online semakin masif seiring dengan berkembangnya teknologi.
MK menolak permohonan uji materi Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ yang diajukan para pengemudi ojek online yang tergabung dalam Tim Pembela Rakyat Pengguna Transportasi Online atau Komite Aksi Transportasi Online (Kato). “Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung MK Jakarta hari ini.
Para pemohon merasa Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga berlakunya pasal a quo menimbulkan kerugian hak konstitusional para pemohon.
Adapun dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ merupakan norma hukum yang berfungsi untuk melakukan rekayasa sosial agar warga negara menggunakan angkutan jalan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan, baik kendaraan bermotor perseorangan, maupun kendaraan bermotor umum. Setelah melakukan kajian, MK memutuskan ojek online bukan alat transportasi yang legal.
Shanto dikutip dari Tempo.com/Editor