​(SPNEWS) Jakarta, Menurut undang-undang No 2 Tahun 2004 yang dimaksud dengan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dari defenisi tersebut dapat diketahui bahwa Undang-undang tidak lagi memberikan kepastian bagi kaum buruh karena apa yang diatur oleh Undang-Undang dapat diperselisihkan atau disengketakan.

Dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya sudah mengatur dengan jelas dan tegas mengenai hak normatif bagi buruh, seperti upah, jaminan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja, lembur, istirahat dan cuti, kebebasan berserikat, mogok kerja, tunjangan hari raya dan lain sebagainya. Namun Mekanisme perselisihan telah mencederai hak-hak tersebut di atas. Salah satu contoh misalnya, Pasal 28D ayat 2 UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Pasal 185 Undang-Undang No 13 Tahun 2003  memberi penegasan bahwa membayar upah lebih rendah dari ketentuan pemerintah sebagaimana ketentuan Pasal 90 Undang-undang No 13 Tahun 2003 adalah merupakan tindak pidana kejahatan dan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Tetapi meskipun jelas diatur sedemikian rupa pengusaha akan berupaya menempuh mekanisme perselisihan yang dilegalkan oleh negara.

Baca juga:  AKANKAH MOGOK KERJA PEKERJA PT ULTRAJAYA BERUJUNG PROSES HUKUM?

Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebenarnya ditekankan pada musyawarah untuk mufakat. Jika musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan penyelesaian maka pengusaha dan buruh atau serikat buruh harus menyelesaikan perselisihannya melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang. Tentu prosedur yang diatur Undang-undang yang dimaksud di sini adalah prosedur yang diatur dalam undang-undang No 2 Tahun 2004, yaitu penyelesaian meliputi perundingan bipartit, penyelesaian melalui mediasi/arbitrase/konsilisasi, penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial dan kasasi.

Dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, musyawarah sering kali disiasati sebagai metode kompromi paling jitu untuk melakukan pelanggaran hukum secara berjamaah. Contoh, ketika pengusaha membayar upah buruhnya di bawah ketentuan, hal tersebut jelas merupakan tindakan pelanggaran hukum dan merupakan tindak pidana. Ketika persoalan ini dimusyawarahkan oleh pengusaha dan buruh atau serikat buruh dalam perundingan bipartit, proses tawar menawar tidak terelakan. Dalam hal ini buruh tidak mungkin meminta upah lebih dari ketentuan. Sebaliknya, pengusaha memaksa buruhnya supaya bersedia upahnya dibayar sedikit lebih rendah dari ketentuan.

Baca juga:  SERIKAT PEKERJA TOLAK KEBIJAKAN PHK DI ANTARA

Dari tawar-menawar tersebut ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, buruh menerima permintaan pengusaha dan akhirnya melakukan pelanggaran hukum bersama-sama. Dan tentu saja karena posisi buruh atau serikat buruh yang lemah yang akhirnya memaksa mereka menerima kehendak dari pengusaha, kedua adalah menolak untuk bersepakat dan menuntut penegakan hukum yang akhirnya berujung pada resiko PHK. Pengusaha akan serta merta menyatakan perundingan Bipartit gagal dan  meneruskan ke mekanisme penyelesaian selanjutnya. Dalam  kondisi terjepit tersebut akhirnya buruh akan berada dalam posisi termarjinalkan, buruh akan di PHK karena menuntut haknya yang sebenarnya sudah dijamin oleh undang-undang. Tetapi lagi-lagi pengusaha dengan kekuatannya akan menggunakan mekanisme ini untuk melegalkan tindakan melanggar hukum mereka.

Shanto dari berbagai sumber/Coed