​Per 1 januari 2018, menjadi awal diterapkannya Pergub Jatim No 75/2017 tentang penetapan UMK tahun 2018, dimana dengan demikian UMK tahun 2018 telah resmi ditrapkan. Dari ketetapan tersebut di ketahui bahawa besaran kenaikan UMK sebesar 8,7 %. Meski naik cukup signifikan, namun hal ini sejatinya sangat memprihatinkan, sebab dengan ketetapan ini berarti telah dimulai babak baru kesenjangan ekonomi tiap Kabupaten/Kota di Indonesia, yang semakin lama akan semakin tinggi.

Sebab pergub tersebut menetapkan besaran UMK yang naiknya di tentukan oleh prosentase 8,7 % yang artinya UMK yang besar akan semakin besar, seang UMK yang keil akan semakin kecil. Buat pekerja Lamongan, tentu saja hal ini akan semakin miris, sebab Lamongan berada pada wilayah Industri ring 2 Jawa Timur.

Dapat kita telaah besaran UMK di ring 1 diantaranya Surabaya sebesar 3.583.312,61 Gresik 3.580.370,64 Sidoarjo 3.577.428,68 Kabupaten Pasuruan 3.577.486,72 Kabupaten Mojokerto 3.565.660,82, sedangkan Kabupaten Lamongan sebesar 1.851.083,98 dari data ini dapat di ketahui bahwa harga jual tenaga kerja Kabupaten Lamongan (UMK) sangat rendah atau murah, sehingga dengan besaran upah yang sama di Lamongan di banding ring 1 akan memperoleh tenaga kerja yang berlipat ganda.
Dari ulasan sekilas ini dapat di tarik kesimpulan sederhana bahwa tenaga kerja Kabupaten Lamongan, kedepannya akan sulit untuk berkompetisi dengan tenaga kerja ring 1 dalam hal kesejahteraan. Jika hal ini di hubungkan dengan kesejahteraan rakyat pada suatu wilayah kabupaten dalam satu provinsi, maka tentu kerentanan ekonomi akan dapat di rasakan oleh pekerja yang berada di Ring 2 atau Ring 3, jika hal ini terakumulasi dalam beberapa tahun kedepan, maka tentu jurang kesenjangan ekonomi semakin lama akan semakin tinggi.

Baca juga:  JANGAN JADIKAN UPAH MURAH SEBAGAI DAYA TARIK INVESTASI

Oleh sebab itu dalam kaitannya dengan hal tersebut, penulis berharap, agar pemerintah daerah dapat menorong atau menstimulasi kebijakan, untuk melakukan kajian terhadap hal ini sehingga di harapkan akan munul kebijakan untuk penyetaraan UMK dengan ring 1 walaupun tiak di persamakan langsung (bertahap).

Sebab jika kita menelaah dengan teliti amanat dari UU No 13 /2003 bahwa UMK atau Upah adalah jaring pengaman sosial pekerja, sangat ironis jika jaring tersebut justru menorong pada arah kesenjangan yang sangat tinggi antara ring 1, ring 2 dan ring 3.

Sedangkan ketidak konsistenan PP No 78/2015 tentang pengupahan adalah PP tersebut sangat tajam dalam menginterfensi kenaikan upah tiap tahun (melaui Inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional), namun gagal dalam melakukan survey pasar di tingkan Nasional untuk menentukan KHL Nasional sebagaimana kita ketahui hal ini gagal dilakukan pada tahun 2015, sehingga dampak dari kegagalan tersebut berdampak pada ketidak konsistenan penerapan PP No 78/2015, yang sejatinya berorientasi agar ada penyetaraan UMK se Indonesia juga pengendalian kenaikan UMK se Nasional.

Baca juga:  KONSOLIDASI PSP SPN PT DUTATEX KABUPATEN PEKALONGAN

Oleh sebab itu kebijakan pemerintah daearah diharapkan mampu menyelesaikan kesenjangan ekonomi, akibat tingginya kesenjangan UMK antar kabupatn, melalui berbagai kebijakan penyetaraan Upah, entah melalui penyetaraan UMK, atau segera menyusun UMSK upah minimum sektoran kabupaten (untuk kabupatan Lamongan), atau pemerintah Kabupaten Lamongan segera mempertegas perusahaan di Lamongan agar menerapkan Struktur Skala Upah sebagai mana amanat UU No 13/2003, untuk memberi penghargaan terhadap bakti pekerja di tiap tiap perusahaan.

Hal inilah yang saat ini sangat krusial, yang perlu di selesaikan oleh pemerintah daerah (khususnya Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Lamongan). Dalam rangka menghindari kesenjangan ekonomi dan daya kompetitif masyarakat kabupaten Lamongan, yang semakin tersisih akibat kesenjangan UMK yang tiap tahun semakin tinggi. Sebab jika di biarkan maka hal ini akan dapat menggiring masyarakat Lamongan, memiliki daya beli yang sangat rendah di bandingkan masyarakat atau pekerja yang berada di ring 1, dimana keberadaan ring 1 tersebut lokasi Kabupatennya tidak jauh dari Kabupaten Lamongan.

Sehingga sangat naif, jika pemerintah daerah mengharapkan dengan adanya industrialisasi akan mampu menghapus pengangguran di Kabupaten Lamongan, sementara masa Depan kesejahteraan pekerja di Kabupaten Lamongan sangat “suram” sebab di akibatkan daya jual tenaga kerja melalui jaring pengaman sosial yang bernama Uapah Minimum Kabupaten (UMK) sangat tidak kompetitif.

Ari Hidayat S.E/Editor