Ilustrasi
Jumlah kecurangan dan inefisiensi itu diproyeksi mencapai Rp12,2 triliun.
(SPN News) Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan kecurangan serta inefisiensi pembiayaan pada pengelolaan dana jaminan sosial dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Jumlah kecurangan dan inefisiensi itu diproyeksi mencapai Rp12,2 triliun.
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan mengatakan bahwa kecurangan dan inefisiensi tersebut menjadi salah satu penyebab BPJS Kesehatan terus mengalami defisit. Karena itu, KPK kemudian memberikan sejumlah rekomendasi terkait pengelolaan dana pada program JKN-KIS tersebut. Melalui rekomendasi tersebut diharapkan masalah kecurangan atau fraud serta inefisiensi biaya bisa diselesaikan.
“Selama ini defisit BPJS Kesehatan terus meningkat. Melalui rekomendasi KPK diharapkan ada opsi lain yang diambil secara struktural untuk menghilangkan defisit selain dengan menaikkan iuran,” kata Pahala (13/3/2020).
Pahala menuturkan, ada enam rekomendasi yang diberikan lembaga antirasuah sebagai upaya pembenahan pengelolaan dana jaminan sosial
Pertama, percepat penyusunan pedoman nasional pelayanan kedokteran (PNPK). Pedoman ini diperlukan untuk mengatur batasan layanan manfaat yang bisa ditanggung program JKN-KIS. Misalnya, pelayanan katarak yang mencapai Rp2 triliun bisa dikurangi jadi Rp 200 miliar.
“Dari 80 pedoman yang harus disusun dari tahun 2015 hingga Juli 2019 baru 32 pedoman yang selesai. Ini harus dipercepat karena efiseinsi yang bisa diperoleh dari aturan ini mencapai 10 persen dari yang saat ini dikeluarkan,” ujar dia.
Kedua, perlu pembatasan manfaat untuk penyakit katartropik seperti jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Pembatasan ini terutama pada peserta dengan risiko tinggi akibat merokok atau banyak mengonsumsi gula.
“Dengan begitu, upaya preventif atau pencegahan penyakit bisa lebih optimal,” tuturnya.
Ketiga, pemerintah perlu berkoordinasi dengan asuransi swasta dalam pembagian pelayanan perawatan. Dia menyebut pemerintah bisa mencontoh Korea Selatan.
“Praktik di sana, pembagian dengan asuransi swasta mencapai 20 sampai 30 persen. Jika bisa dimanfaatkan maka bisa mengurangi klaim BPJS hingga Rp 600 miliar sampai Rp 900 miliar,” tutur Pahala.
Keempat, menerapkan urun biaya dengan peserta. Berdasrkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51/2018 tentang Urun Biaya dan Selisih Bayar dalam Program JKN disebutkan, peserta bisa dikenakan urun biaya sebesar 10 persen dari biaya pelayanan rawat inap.
“Dari hitungan ini diperkirakan pada 2018 ada efisiensi biaya mencapai Rp 2,2 triliun,” kata Pahala.
Kelima, memastikan kelas rumah sakit sesuai dengan pelayanan dan fasilitas yang diberikan. Menurut Pahala, rekomendasi ini sudah dijalankan dengan menemukan adanya sekitar 800 rumah sakit yang tidak sesuai kelas.
Namun, setelah adanya penemuan tersebut, tidak ada tindak lanjut yang jelas dari Kemeterian Kesehatan. “Dari masalah kelas RS yang tidak sesuai ini, efisiensi pembiayaan yang bisa didapatkan sebanyak Rp 6,6 triliun,” tuturnya.
Terakhir, memperbaiki sistem verifikasi di lapangan dari petugas BPJS Kesehatan. Harus ada aturan yang tegas jika ditemukan data yang fiktif. “Jika memang ditemukan ada yang fiktif harus ada pengembalian uang sampai hukuman pidana,” kata Pahala.
SN 09/Editor