Selamat memperingati Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2025. Apakah kita bisa dan perlu bangkit? Sungguh, kita perlu bangkit, terutama melihat kondisi ketenagakerjaan saat ini. Belum sampai selesai semester pertama tahun 2025, kita sudah dihadapkan pada kebangkrutan raksasa tekstil ASEAN, PT. Sritex, di Sukoharjo, Jawa Tengah, juga perusahaan tekstil dan alas kaki di Cirebon, Jawa Barat, yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi ribuan tenaga kerjanya. Belakangan, kabar PHK juga berhembus dari industri media tanah air, dengan beberapa media yang akan atau bahkan telah melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerjanya.

Apa yang terjadi dengan negeri ini? Persaingan global? Efisiensi anggaran? Atau apalagi? Ruwetnya birokrasi? Di media sosial, banyak berita beredar tentang produk dari Tiongkok dengan harga lebih murah yang menyerbu pasar kita, sehingga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi ketidakmampuan industri tekstil dalam negeri untuk bersaing.

Bagi para buruh, hal-hal tersebut mungkin tidak sempat terpikirkan. Mereka lebih memikirkan bagaimana hari ini bisa bekerja agar setiap akhir pekan atau setiap bulan bisa mendapatkan gaji untuk makan keluarga atau biaya sekolah anak-anaknya.

Apakah sekolah sekarang masih butuh biaya? Bukankah sekolah sekarang gratis? Ya, bagi yang bersekolah di sekolah negeri, itupun tidak seratus persen gratis. Masih ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan orang tua untuk sekolah anaknya, entah itu uang jajan, ongkos kendaraan umum, atau bensin jika anak berkendara sendiri. Itu jika anak bisa bersekolah di negeri. Jika tidak? Maka akan bersekolah di swasta. Lalu, apakah sekolah swasta gratis? Tentu saja berbayar. Belum lagi jika sekolah tersebut adalah sekolah favorit, sudah pasti perlu biaya yang tidak kecil, bahkan bisa dikatakan besar.

Jadi, menjadi buruh pabrik di sini kadang menjadi dilema. Dibilang miskin, tapi punya penghasilan tetap. Dibilang mampu, tapi upahnya “hanya” UMP. Padahal, bukankah UMP itu peruntukannya untuk pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun? Sedangkan yang sudah berkeluarga atau memiliki masa kerja lebih dari satu tahun seharusnya mendapatkan lebih dari UMP? Memang lebih, tapi jika lebihnya hanya seratus atau dua ratus ribu, sedangkan tanggungan hidup bertambah dengan istri (dan mungkin anak), apa tidak pusing kepala pekerja?

Orang tua mana yang tidak ingin anaknya lebih sukses dari mereka? Para buruh pabrik mungkin juga berkeinginan anak-anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik daripada orang tuanya yang hanya buruh pabrik. Ingin anaknya bersekolah di tempat terbaik. Tapi, bisakah hal tersebut tercapai?

Ketika para buruh melihat ke atas, apa yang mereka lihat? Banyak pejabat yang korup (tidak semua, tapi banyak). Para pimpinan buruh di pusat mungkin lupa dengan slogan perjuangannya. Bisa jadi mereka menikmati kursi empuk sebagai pengawas atau komisaris di sebuah badan atau lembaga dengan gaji fantastis. Bahkan, kadang-kadang para petinggi itu menjabat tidak hanya di satu badan, tetapi di beberapa badan.

Ah, Sungguh ironis nasib buruh. Mereka berjuang di bawah, sementara pimpinan mereka menikmati di atas, padahal katanya memperjuangkan, “Buruh bersatu tak bisa dikalahkan.”

Ah, sudahlah. Nikmatilah hasil kerjamu saat ini, para buruh pabrik. Setelah di awal Mei ini para buruh gegap gempita memperingati Hari Buruh, kemudian berharap kebaikan pendidikan bagi anak-anaknya di hari berikutnya, lalu berjuang agar bisa bangkit di Hari Kebangkitan Nasional ini.

Selamat berjuang, kawan. Semoga rahmat Tuhan menyertai keluargamu.

(SN-13)