Gambar Ilustrasi

Tambang merupakan salah satu sektor sumber daya yang cukup mendongkrak pertumbuhan pembangunan pasca kemerdekaan hingga saat ini dan membutuhkan pengaturan yang komprehensif

(SPN News) Jakarta, Pendapatan negara yang diperoleh dari aktivitas pertambangan dinilai cukup besar. Sebagaimana dikutip dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), bahwa Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) dari sektor Energi dan Pertambangan Mineral Batubara (Minerba) sepanjang tahun 2019 mencapai Rp172,9 triliun, walaupun angka ini tidak mencapai target realisasi PNPB yakni Rp214,3 triliun.

Kendati demikian, dibalik besarnya pendapatan negara dari sektor minerba, negara memikul penuh tanggung jawab risiko dampak usaha pertambangan terhadap kondisi kelestarian lingkungan hidup. Walaupun sejatinya dalam rangka menertibkan usaha pertambangan, pemerintah telah lama menerbitkan Undang-Undang No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Undang-Undang tersebut menjadi muara hukum dalam penyelenggaran usaha pertambangan di Indonesia saat ini.

Berpijak pada asas het rech hink achter de feiten aan di mana dapat diartikan bahwa hukum selalu tertinggal dari peristiwanya, perubahan undang-undang merupakan hal yang wajar sebagai bentuk penyesuaian perkembangan zaman. Termasuk dalam hal ini adalah Perubahan Undang-Undang Minerba yang baru saja disahkan oleh DPR dalam Sidang Paripurna pada selasa 12 Mei 2020 yang lalu.

Seperti diketahui pula bahwa RUU ini tercatat dengan status carry over dari pengajuan periode sebelumnya. Namun, alih-alih melahirkan produk hukum yang dapat membesarkan hati masyarakat atas dampak lingkungan maupun sosial akibat penyelenggaran usaha pertambangan, perubahan Undang-Undang Minerba justru memiliki banyak catatan baik dari segi formil maupun materiil.

Padahal, pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 15/2019 tentang Pembentukan Perundang-Undangan (P3) yang berbunyi “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.”

Beberapa catatan dari segi formil perubahan UU Minerba sebagai berikut, pertama, perubahan UU Minerba bertentangan dengan asas keterbukaan sebagaimana sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU P3. Hal ini dikarenakan, pembahasan RUU oleh Panitia Kerja (Panja) dilakukan secara tertutup.

Baca juga:  KONFERDA DPD SPN JAWA TIMUR

Padahal ketentuan UU P3 mengamanatkan tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

Kedua, draft Naskah Akademis, Daftar Inventarisasi Masalah, dan draft RUU Minerba tidak dipublikasikan dalam laman dpr.go.id. Akibatnya, masyarakat tidak dapat memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis terhadap RUU Minerba. Hal ini bertentangan pula dengan prinsip partisipasi masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pasal 96 UU P3 dan menjadi preseden buruk dalam sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, terdapat potensi melanggar asas dapat dilaksanakan (lihat Pasal 5 huruf d UU P3). Hal ini dikarenakan beberapa muatan yang ada dalam perubahan UU Minerba juga diatur dalam RUU Cipta Kerja yang saat ini tengah dibahas di parlemen dan belum menemukan titik terang untuk disahkan sebagai undang-undang, dan

Keempat, berkaitan dengan kondisi negara yang sedang fokus dalam penanganan wabah Covid-19, semestinya DPR sebagai lembaga negara fokus dalam melaksanakan fungsi anggaran dan pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara untuk penanganan Covid-19 yang sedang berlangsung. Sebab, hemat penulis hal tersebut jauh lebih urgent dibanding membahas perubahan UU Minerba dengan melihat penanganan Covid-19 oleh pemerintah yang belum maksimal.

Sementara catatan terhadap subtansi/materiil perubahan UU Minerba adalah sebagai berikut. Pertama, Pasal 169 A melegitimasi perpanjangan dalam bentuk IUPK secara otomatis paling lama 2 x 10 tahun sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian kepada perusahaan tambang.

Pemberian perpanjangan waktu secara otomatis, pintu seluas-luasnya kepada perusahaan tambang untuk mengeksplorasi kekayaan alam. Padahal dalam Konstitusi sebagai grundnorm mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kedua, ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 169 A dilakukan tanpa melalui lelang. Padahal, ketentuan UU Minerba sebelumnya secara eksplisit disebutkan bahwa perpanjangan dilakukan melalui lelang, hal ini sebagai bentuk asesmen kompetensi perusahaan tambang.

Baca juga:  BURUH UNJUK RASA DI KP3B, GUBERNUR BANTEN TAK MAU TEMUI

Ketiga, Pasal 4 Ayat (2) mengubah kewenangan penguasaan mineral dan batubara melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan dari Pemerintah Daerah Ke Pemerintah Pusat. Ketentuan ini berpotensi menggerus prinsip desentralisasi dan otonomi daerah serta rentan terhadap kepentingan antara Pengusaha dan Pemerintah.

Keempat, Pasal 165 UU N. 4 Tahun 2009 yang memuat sanksi pidana bagi pelaku penyalahgunaan wewenang penerbitan izin tambang yang mencakup IUP, IUPR, dan IUPK justru dihapuskan. Konsekuensinya, tidak ada jerat sanksi pidana terhadap pemberi izin yang mengeluarkan izin tambang walaupun bertentangan dengan ketentuan UU Minerba.

Kelima, Pasal 43 dan Pasal 45 yang mengatur tentang kewajiban pelaporan mineral ikutan kepada pemberi IUP dan pengenaan iuran produksi dihapuskan. Padahal, mineral ikutan menyimpan potensi pendapatan negara dari royalti. Selain negara telah kehilangan pemasukannya, negara juga akan kehilangan cadangan mineral lantaran perusahaan tambang akan leluasa untuk mengeksplorasi wilayah tambang.

Keenam, dalam pasal 47 jika disandingkan antara UU Minerba yang lama dan perubahannya, perubahan frasa ‘dapat’ menjadi frasa ‘dijamin’, mengindikasikan bahwa pemerintah seolah-olah sudah menaruh keyakinan kepada perusahaan tambang. Kedua frasa tersebut tentu memilki konsekuensi hukum yang berbeda.

Frasa ‘dapat’ memungkinkan adanya pilihan pemerintah untuk memberi atau menolak perpanjangan waktu produksi. Sebaliknya, frasa ‘dijamin’ mengandung konsekuensi hukum bahwa pemerintah diharuskan memberikan perpanjangan waktu kegiatan operasi produksi kepada perusahaan tambang. Jika dibaca secara penuh, perubahan frasa tersebut akan banyak ditemukan dalam perubahan UU Minerba.

Ketujuh, Perubahan UU Minerba tidak memuat prinsip partisipasi masyarakat. Berbeda halnya dengan UU Minerba yang lama, prinsip partisipasi masyarakat bahkan tertuang secara eksplisit di dalam penjelasan pokok pikiran. Padahal, partisipasi masyarakat merupakan bagian penting dalam penyelenggaran usaha tambang, mengingat bahwa industri pertambangan memiliki dampak yang serius bagi lingkungan maupun masyarkat.

SN 09/Editor