Gambar Ilustrasi
Pembahasan RUU Minerba terus menimbulkan pro dan kontra
(SPN News) Jakarta, Koalisi Masyarakat Sipil Bersihkan Indonesia menyatakan keputusan DPR RI dan pemerintah melanjutkan pembahasan dan pengesahan RUU Mineral dan Batubara (RUU Minerba) di tengah wabah virus corona tidak mewakili kepentingan masyarakat dan korban industri pertambangan.
Koalisi yang terdiri dari Auriga Nusantara, Walhi, dan JATAM Nasional ini menilai sikap wakil rakyat dan pemerintah tersebut justru mencerminkan akomodasi terhadap kepentingan investor batubara.
“Alih-alih memprioritaskan penyelamatan rakyat di tengah krisis pandemi Covid-19, DPR-Pemerintah justru menyediakan jaminan (bailout) dan memfasilitasi perlindungan bagi korporasi tambang,” demikian siaran pers dari Koalisi Masyarakat Sipil.
Ada empat hal yang disoroti terkait pembahasan RUU Minerba. Yang pertama, RUU Minerba disebut merupakan suatu bentuk jaminan (bailout) dari pemerintah untuk melindungi keselamatan elite korporasi, bukan rakyat dan lingkungan hidup dengan cara memanfaatkan krisis Covid-19 yang menyebabkan kekosongan ruang aspirasi dan partisipasi publik.
“Sementara bailout berikutnya tengah disiapkan, misalnya wacana usulan pemotongan tarif royalti yang harus dibayar kepada negara dan sejumlah insentif lainnya bagi perusahaan,” ujar Merah Johansyah dari JATAM .
Kedua, proses pembahasan dan pengesahan RUU Minerba dinilai cacat prosedur dan hukum, melanggar tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU 12/2011 dan peraturan DPR tentang tata tertib DPR, serta mengabaikan hak konstitusi warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 pasal 28F.
Ketiga, Koalisi menyoroti pasal-pasal dalam draf RUU Minerba yang dinilai memperlihatkan bagaimana perusahaan diberi kemudahan, di antaranya, perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B tanpa pengurangan luas wilayah dan lelang, IUP dan IUPK diperbolehkan untuk dipindahtangankan dan beberapa pasal lainnya.
Keempat, koalisi menilai sebanyak 90 persen isi dan komposisi RUU ini hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batu bara.
Merah menuturkan penambahan, penghapusan dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan, namun tidak mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat dan perempuan.
Selain itu, Koalisi juga mengkritik pernyataan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Minerba, Bambang Wuryanto yang menyebut bahwa aspirasi publik yang selama ini diarahkan kepada DPR tak ubahnya teror.
Menurut Koalisi, rapat-rapat Panja RUU Minerba yang selama ini digelar tertutup lah yang menjadi teror terhadap warga terdampak di lingkar pertambangan dan industri batu bara. Oleh karenanya, Koalisi meminta Presiden Joko Widodo dan DPR RI untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Minerba di pembicaraan tingkat dua.
“DPR dan Pemerintah harus fokus menyelamatkan rakyat di tengah wabah virus corona yang mematikan,” dikutip siaran pers tersebut.
Sebelumnya, Komisi VII telah menyepakati RUU Minerba akan disahkan dalam rapat paripurna DPR. Ketua Panja RUU Minerba, Bambang Wuryanto mengatakan pembahasan RUU minerba merupakan tugas yang harus dijalankan DPR sebagai lembaga legislatif, yakni menyusun peraturan perundang-undang.
Seluruh pasal dalam RUU tersebut juga dibahas bersama pemerintah pusat, baik kementerian ESDM maupun kementerian lainya, sebagai langkah harmonisasi peraturan. Karena itu, jika nantinya ada yang tak setuju dengan isi undang-undang tersebut, ia mempersilahkan yang bersangkutan melakukan judicial review.
“Semua didiskusikan panjang lebar agar kawan-kawan di luar paham, kalau ada yang tidak pas judicial review. Jangan sebar WA yang dibombardir kepada kami semua, itu namanya teror,” kata Bambang, (11/5).
SN 09/Editor