Undang-undang Cipta Kerja telah mengganti SIP3MI dengan Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(SPNEWS) Jakarta, seperti yang telah diketahui bersama bahwa Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 20 November 2020. UU ini mencakup sepuluh ruang lingkup, salah satunya adalah ketenagakerjaan yang di dalamnya mengatur tentang Pekerja Migran Indonesia. UU Cipta Kerja telah mengubah beberapa ketentuan di dalam UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Pasal yang dihapus oleh UU No 11/2020 adalah tentang Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI). Surat ini merupakan izin tertulis yang diberikan oleh Menteri Ketenagakerjaan kepada badan usaha berbadan hukum Indonesia yang akan menjadi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).
UU No 11/2020 kemudian mengganti SIP3MI dengan Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Perizinan Berusaha ini berbasiskan risiko yang mencakup aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan dan sumber daya. Perizinan ini tidak mencakup aspek perlindungan Pekerja Migran Indonesia seperti pada peraturan sebelumnya. Ketentuan tentang Perizinan Berusaha belum dapat dilaksanakan karena masih akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Dengan dihapusnya SIP3MI dan digantikan dengan Perizinan Berusaha, maka P3MI tidak lagi harus memenuhi persyaratan seperti modal pendirian sebesar Rp 5 miliar (lima miliar rupiah), deposito sejumlah Rp 1,5 miliar (satu miliar lima ratus juta rupiah) sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Selanjutnya, P3MI tidak wajib untuk mematuhi syarat lainnya seperti memiliki rencana kerja penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia selama 3 tahun, serta memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan Pekerja Migran Indonesia. Selain itu, P3MI tidak diharuskan untuk menambah biaya keperluan dalam Perlindungan Pekerja Migran Indonesia jika deposito yang digunakan tersebut tidak mencukupi.
SIP3MI memiliki batas waktu berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang dengan kewajiban memenuhi persyaratan seperti telah memberikan laporan secara berkala, telah melaksanakan penempatan sekurangnya 75% dari rencana penempatan Pekerja Migran Indonesia. Kemudian masih memiliki sarana dan prasarana sesuai standar, memiliki neraca keuangan 2 tahun terakhir tidak mengalami kerugian, dan tidak dalam kondisi diskors. Paska Omnibus Law, P3MI tidak wajib memenuhi ketentuan itu semua.
Sementara ketentuan baru tentang Perizinan Berusaha hanya menitikberatkan pada aspek modal dan investasi. Kondisi yang miskin pelindungan ini akan cenderung mengarah kepada praktik penempatan Pekerja Migran Indonesia yang non prosedural dan menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada kerawanan situasi perdagangan orang.
Patut dicatat bahwa dalam UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia terdapat peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah yang harus ditetapkan paling lama selama 2 tahun. Terdapat 11 Peraturan Pemerintah (PP) yang harus ditetapkan. Hingga kini hanya 1 PP yang telah ditetapkan, yaitu PP No 10/2020 tentang Tata Cara Penempatan PMI oleh BP2MI. Itupun penetapannya telah melewati batas waktu 2 tahun.
Belum selesai dengan kewajiban penetapan PP tersebut, Pemerintah kembali diharuskan menetapkan PP yang diamanatkan Omnibus Law dalam kurun waktu yang hanya tersisa satu bulan. Hal ini menandakan belum ada prioritas pemerintah dalam melaksanakan Undang-Undang yang telah disahkan dan juga ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.
Kerja pemerintah akan kembali diuji apakah bisa melaksanakan amanat Undang-Undang dalam melaksanakan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia agar hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan menjadi terwujud.
SN 09/Editor