Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta,  Sekitar 550.000 buruh di industri tekstil terancam dirumahkan sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi pertalite dan solar, (3/9/2022).

Perhitungan setengah juta buruh yang terancam dirumahkan itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta.

Ia mengatakan akan ada 10-15 persen pekerja formal industri tekstil yang berpotensi dirumahkan pada Oktober 2022. Jumlah tersebut setara dengan sekitar 550.000 orang dari total 3,7 juta tenaga kerja di industri tekstil Tanah Air berdasarkan data APSyFI.

“Berdasarkan survei asosiasi, dari total 3,7 juta karyawan formal industri TPR, sekitar 10-15 persen akan dirumahkan pada Oktober mendatang,” kata Redma, seperti dikutip pada (3/9/2022).

Baca juga:  SYARAT LOWONGAN KERJA DIANGGAP DISKRIMINATIF, PASAL 35 UU KETENAGAKERJAAN DIGUGAT

Redma mengatakan perhitungan asosiasi mengenai potensi perumahan karyawan industri TPT didasarkan kepada dampak akumulatif penurunan daya beli akibat harga BBM dan pengurangan produksi akibat barang impor. Berdasar data BPS, pengeluaran per kapita orang Indonesia untuk membeli pakaian dan alas kaki berada di kisaran Rp31.000 per bulan. Jauh di bawah makanan-minuman yang mencapai Rp622.000 per bulan pada 2021.

Di sisi lain, maraknya barang impor yang beredar di pasar dalam negeri memaksa pelaku industri TPT mengurangi 15 persen kapasitas produksi yang disebut akan mulai dilakukan pada September 2022.

Wakil Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani menilai efisiensi merupakan langkah yang paling wajar bagi pelaku industri di tengah kondisi seperti saat ini.

Baca juga:  BANDELNYA PERUSAHAAN DI KABUPATEN BOGOR YANG TIDAK JALANKAN UMK

“Biasanya hal yang dilakukan terlebih dahulu adalah efisiensi. Dengan demikian, kenaikan beban produksi terhadap output serta harga di pasaran bisa ditekan,” kata Shinta.

Selanjutnya, kata Shinta, barulah perusahaan bisa mengambil langkah penyesuaian strategi penjualan yang disesuaikan dengan perubahan harga jual yang lebih tinggi sebagai respons atas dampak inflasi terhadap sisi produksi. Namun, ujar Shinta, kondisinya tidak akan serta merta sama antara setiap perusahaan di industri yang terdampak.

SN 09/Editor