Ilustrasi
(SPNEWS) Jakarta, Sebagai seorang Menaker tentunya surat itu merupakan bagian dari proses kerja seorang Menaker untuk mengajak seluruh pekerja dan SP/SB menerima UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan. We laa yo edan tenan to…, emoh kok dipekso (orang gak mau Nerima kok dipaksa harus Nerima).
Namun surat ini tentunya tidak bijak untuk “mempertentangkan” antara pekerja dan pengangguran. Itu tidak bisa dikaitkan. Bukankah UU cipta Kerja telah menjadi “pabrik” penghasil pengangguran, wong PHK jadi lebih mudah, sementara pengangguran yang ada belum tentu terserap oleh adanya UU Cipta Kerja.
Isu surat Menaker yang menyatakan adanya dialog, saya kira bukan dialog tapi hanya sebatas monolog sepihak dari Pemerintah yang harus didengarkan oleh SP/SB. Kalau dialog tentunya ada masukan-masukan yang diadopsi pemerintah. Mbok ya Menaker sebutkan usulan apa yang diakomodir pemerintah dalam UU Cipta Kerja ini, Saya kira statemen Ibu yang menyatakan
“banyak sekali aspirasi teman-teman yang kami akomodir” adalah kebohongan publik yang tidak perlu Ibu sampaikan ke publik.
“Malu atuh… boong terus, soal PKWT,bsyarat PHK, itu semua masih mengacu pada UU lama”.
Coba Menaker baca lagi apa isi UU Cipta Kerja yang telah ditetapkan jangan berstatemen seolah olah rakyat dan pekerja bisa dibohongi.
UU Cipta Kerja ini adalah mengedepankan dan menyuburkan konflik hubungan industrial ke depan, susah payah kita menjaga hubungan industrial ini , mengundang investor ke Indonesia kalau hanya untuk menciptakan pekerja yang miskin, buat apa karena UU Cipta kerja hanya memberikan karpet super merah kepada investor.
Tapi harus diingat Menaker yang terhormat, apabila konflik industrial tumbuh subur yang terjadi malah investor takut berinvestasi di Indonesia. Jadi kalau memang mau berdialog, dengerin buruh terlebih dahulu, cerna baik-baik bukan malah buru-buru ditetapkan.
SN 04/Editor