SPN News – Outsourcing atau alih daya adalah suatu sistem pengelolaan perusahaan yang melibatkan pihak ketiga untuk mengerjakan sebagian atau seluruh pekerjaan perusahaan tersebut. Praktik outsourcing telah lama diterapkan di Indonesia, sejak masa Orde Baru. Namun, aturan mengenai outsourcing di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan, baik dari segi istilah, batasan jenis pekerjaan, maupun hak-hak pekerja outsourcing.

Istilah Outsourcing

Istilah outsourcing sendiri awalnya berasal dari bahasa Inggris, yaitu “outsource” yang berarti “menyerahkan pekerjaan kepada pihak lain”. Di Indonesia, istilah outsourcing mulai digunakan pada awal tahun 1990-an. Pada masa itu, istilah outsourcing sering digunakan secara bergantian dengan istilah “alih daya”. Namun, pada tahun 2020, istilah outsourcing diubah menjadi alih daya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Batasan Jenis Pekerjaan

Awalnya, praktik outsourcing di Indonesia dibatasi hanya untuk jenis pekerjaan tertentu yang sifatnya penunjang. Hal ini diatur dalam Pasal 64 dan 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, batasan jenis pekerjaan untuk outsourcing dihapus. Artinya, semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing.

Baca juga:  PRODUKTIVITAS PEKERJA HARUS DITINGKATKAN

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No. 6/2023) telah mengubah beberapa ketentuan mengenai pekerja outsourcing/alih daya.

Pasal 64 UU No. 6/2023 mengatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian outsourcing secara tertulis. Namun, pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang dapat dilakukan melalui mekanisme alih daya. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Dengan demikian, terdapat batasan jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak pekerja outsourcing, agar mereka mendapatkan hak-hak yang sama dengan pekerja tetap.

Pasal 65 UU No. 6/2023 mengatur bahwa perusahaan outsourcing harus berbadan hukum dan mengantongi izin dari Menteri Ketenagakerjaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan outsourcing memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memenuhi hak-hak pekerja outsourcing.

Hak-Hak Pekerja Outsourcing

Baca juga:  SETELAH VIRAL, BUPATI KARAWANG DATANGI PT HRI

Hak-hak pekerja outsourcing juga telah mengalami beberapa kali perubahan. Awalnya, pekerja outsourcing hanya memiliki hak-hak yang terbatas, seperti upah, jaminan sosial, dan waktu kerja. Namun, melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hak-hak pekerja outsourcing semakin diperkuat. Pekerja outsourcing kini memiliki hak-hak yang sama dengan pekerja tetap, seperti hak atas upah, jaminan sosial, waktu kerja, cuti, dan PHK.

Perubahan Aturan Outsourcing Menurut ILO

Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah mengeluarkan beberapa rekomendasi mengenai outsourcing, yaitu:

  • Rekomendasi Nomor 198 tentang Pekerjaan Kontrak (1997)
  • Rekomendasi Nomor 202 tentang Ketenagakerjaan dan Perusahaan Kecil dan Menengah (2006)

Rekomendasi ILO tersebut menekankan pentingnya perlindungan hak-hak pekerja outsourcing, seperti:

  • Hak atas upah yang adil
  • Hak atas jaminan sosial
  • Hak atas waktu kerja yang wajar
  • Hak atas cuti
  • Hak atas PHK yang adil

Perubahan aturan outsourcing di Indonesia telah menimbulkan pro dan kontra. Kontra outsourcing berpendapat bahwa praktik outsourcing dapat merugikan pekerja outsourcing, karena pekerja outsourcing sering kali tidak mendapatkan hak-hak yang sama dengan pekerja tetap.

SN-01/Berbagai Sumber