Banyak perusahaan yang sekarang ini merekrut tenaga kerja mereka melalui perusahaan penyedia jasa tenaga kerja atau yang lebih dikenal dengan outsourcing, sehingga perusahaan penyedia jasa outsorcing pun semakin banyak. Banyak dari kita yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan outsourcing itu sendiri.
Bila kita merujuk pada Undang Undang No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Outsourcing atau disebut juga “Alih Daya” dikenal sebagai penyediaan jasa tenaga kerja seperti yang diatur pada pasal 64, 65 dan 66. Dalam dunia Psikologi Industri, pekerja outsourcing adalah pekerja kontrak yang dipasok dari sebuah perusahaan penyedia jasa tenaga outsourcing. Awalnya, perusahaan outsourcing menyediakan jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan dan tidak mempedulikan jenjang karier. Seperti operator telepon, call centre, petugas keamanan/Satpam dan tenaga pembersih atau cleaning service. Namun saat ini, penggunaan outsourcing semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.
Dengan menggunakan tenaga kerja outsourcing, perusahaan tidak perlu repot menyediakan fasilitas maupun tunjangan makan, hingga asuransi kesehatan/BPJS Kesehatan. Sebab, yang bertanggung jawab adalah perusahaan outsourcing itu sendiri. Sistem kerja ini menguntungkan perusahaan, namun sistem ini merugikan untuk pekerja. Selain tak ada jenjang karier, terkadang gaji mereka dipotong oleh perusahaan induk. Potongan gaji ini bisa mencapai 30 persen sebagai jasa bagi perusahaan outsourcing. Yang membuat hal ini semakin memprihatinkan adalah banyak dari pekerja outsourcing tidak mengetahui berapa besar potongan gaji yang diambil oleh perusahaan outsourcing atas jasanya memberi pekerjaan di perusahaan lain itu.
Sistem perekrutan tenaga kerja outsourcing sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sistem perekrutan pekerja pada umumnya. Perbedaannya, pekerja ini direkrut oleh perusahaan penyedia tenaga jasa, bukan oleh perusahaan yang membutuhkan jasanya secara langsung. Nantinya oleh perusahaan penyedia tenaga jasa, pekerja akan dikirimkan ke perusahaan lain (klien) yang membutuhkannya. Dalam sistem kerja ini, perusahaan penyedia jasa outsource melakukan pembayaran terlebih dahulu kepada pekerja. Selanjutnya mereka menagih ke perusahaan pengguna jasa mereka.
Pekerja outsourcing biasanya bekerja berdasarkan kontrak, dengan perusahaan penyedia jasa outsourcing, bukan dengan perusahaan pengguna jasa. Dengan kata lain pekerja outsorcing inilah yang akhirnya menjadi sumber pemasukan bagi perusahaan-perusahaan penyedia jasa outsorcing, tak ubahnya “Sapi-sapi perahan yang diperas susu dan tenaganya untuk kemakmuran cukong-cukong pemilik perusahaan-perusahaan penyedia jasa outsorcing”. Dan yang lebih miris disinyalir ada oknum-oknum yang harusnya mengawasi tentang pelaksanaan hukum ketenagakerjaan malah bekerja sama dengan cukong-cukong pemilik perusahaan outsorcing, sementara perlawanan penolakan terhadap sistem outsorcing ini semakin lama semakin tenggelam oleh isu-isu yang lain.
Shanto dikutip dari berbagai sumber/Coed