UU CIPTA KERJA BELUM TENTU GENJOT INVESTASI

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai bahwa pengesahan UU Ciptaker justru kontradiktif terhadap upaya untuk meningkatkan kualitas investasi. Pasalnya, banyak peraturan terkait perlindungan pekerja dan lingkungan diubah

(SPNEWS) Jakarta, Salah satu hal yang selalu disebut-sebut pemerintah tentang urgensi UU Cipta Kerja adalah meningkatkan investasi. Iklim investasi di Indonesia empat tahun terakhir sebenarnya tidak terlalu buruk, namun pemerintah menilai bahwa regulasi perlu disempurnakan agar ekonomi lebih melesat.

Investasi juga diharapkan berbanding lurus dengan terciptanya lapangan kerja. Di sisi lain pengamat menilai bahwa realisasi di lapangan nanti tidak akan semudah yang diprediksi.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai bahwa pengesahan UU Ciptaker justru kontradiktif terhadap upaya untuk meningkatkan kualitas investasi. Pasalnya, banyak peraturan terkait perlindungan pekerja dan lingkungan diubah.

Padahal, investor dari negara maju bakal melihat regulasi negara tujuan sebelum memutuskan berinvestasi. Memastikan investasi yang memenuhi standar. Khususnya, bagi investor yang berasal dari Jepang, Amerika Serikat (AS), maupun negara-negara Eropa.

”Mereka memiliki prinsip terkait keadilan hak pekerja atau fair labor, tempat kerja yang layak atau decent work, dan berwawasan lingkungan. Poin-poin tersebut tidak didapatkan dalam UU Ciptaker,” tegasnya  (11/10/2020).

Bukan tidak mungkin, kata Bhima, UU Ciptaker akan merugikan dalam jangka panjang. Selain mengundang polemik dan mogok kerja, investor akan mencermati berapa banyak peraturan pemerintah, menteri, maupun peraturan daerah yang akan diubah pascapengesahan undang-undang sapu jagat tersebut.

Artinya, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga, akan menimbulkan persepsi negatif dari para investor dan menunda keputusan investasi. ”Mereka yang ingin berinvestasi akhirnya menjadi wait and see sampai peraturan teknisnya selesai diatur pemerintah,” ujar alumnus Universitas Gadjah Mada itu.

Selain itu, Bhima menyebut UU Ciptaker tidak memiliki fokus. Di satu sisi pemerintah ingin adanya lembaga pengelola aset (Sovereign Wealth Fund/SWF) yang uangnya bisa dikelola oleh manajemen investasi sebagian besar di surat berharga. Sementara itu di klaster ketenagakerjaan, hak pekerja dipangkas untuk menarik investasi padat karya. Pada bidang start-up, pemerintah membuka ruang untuk tenaga kerja asing (TKA) masuk. Di klaster pangan, yang akan didorong adalah importir pangan. ”Jadi jenis investasi apa yang sebenarnya ingin didorong?” tanya Bhima.

Menurut dia, UU Ciptaker hanya menjadi alat untuk mengakomodir investor yang memiliki kepentingan usaha dengan para pejabat pemerintah. Itu terlihat dari susunan satgas dan pembahasan yang terkesan dipercepat. Seperti revisi UU Mineral dan Batu Bara (Minerba). ”Terlihat ada konflik kepentingan antara pembuat UU Ciptaker dengan bisnis ektraktif sumber daya alam (SDA). Namun, sulit juga untuk dibuktikan oleh orang awam,” ucapnya.

Hal senada disampaikan ekonom senior Indef Faisal Basri. Dia menuturkan, ada kedaruratan dua RUU itu terburu-buru untuk disahkan. Yakni, menyangkut nasib perusahaan tambang batu bara yang akan segera habis kontraknya. ”Enam kontrak karya akan segera berakhir. Ada yang tahun ini, 2022, 2023, dan 2025. Sudah digelar karpet khusus untuk batu bara. Maklum, karena banyak petinggi negeri yang punya konsesi batu bara atau dekat dengan pengusahanya,” sebut Faisal.

Faisal juga menyebutkan bahwa tujuan yang kerap terlontar UU Ciptaker adalah untuk kemudahan berusaha. Padahal, lanjut dia, masalah klasik di atas sudah berlangsung puluhan tahun. ”Namun, mengapa baru sekarang diklaim sebagai penyebab kemerosotan investasi dan pertumbuhan ekonomi? Dengan iklim usaha yang serupa, mengapa pertumbuhan di masa lalu bisa 8 persen, 7 persen, dan 6 persen,” tegasnya.

Di lain pihak, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meyakini bahwa UU Ciptaker akan menarik lebih banyak proyek investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia. Menurut dia, investasi akan memberikan lebih banyak kesempatan kerja. Dia menyebut bahwa investasi berkontribusi sebesar 30,61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II 2020.

Bahlil menegaskan bahwa konsumsi terjadi ketika masyarakat memiliki daya beli. Daya beli dapat tercipta jika masyarakat memiliki kepastian pendapatan. Sementara penghasilan dapat dipastikan jika ada pekerjaan. ”Di sinilah investasi memegang peran kunci dalam menciptakan lapangan kerja,” ujar Bahlil.

SN 09/Editor

Comments (0)
Add Comment