Ilustrasi Pekerja
Wakil Ketua Umum Kadin bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz mempertanyakan dasar dari angka kenaikan upah minimum sebesar 10% yang diminta oleh serikat buruh. Sebab, perhitungan kenaikan upah telah diatur lewat regulasi
(SPNEWS) Jakarta, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia merespons permintaan serikat buruh agar upah minimum 2022 naik 7-10 persen.
Wakil Ketua Umum Kadin bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz mempertanyakan dasar dari angka kenaikan upah minimum sebesar 10% yang diminta oleh serikat buruh. Sebab, perhitungan kenaikan upah telah diatur lewat regulasi.
“Tentu bukan masalah 10% atau masuk akalnya, bukan itu, dasar dari 10% itu apa? Itu saya kira yang paling penting. Kan saat ini kita harus taat juga dengan regulasi yang sudah ada bahwa sudah ada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan juga ada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan,” katanya (28/10/2021).
Berdasarkan aturan yang berlaku, lanjut dia kenaikan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah mengacu pada data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
“Saya kira kita semuanya juga harus menunggu data dari BPS karena regulasinya memang disampaikan di dalamnya bahwa data untuk mengkalkulasi atau mensimulasikan upah minimum 2022 harus dari Badan Statistik dalam hal ini adalah BPS. Regulasinya seperti itu,” jelasnya.
Pihaknya pun juga menunggu kelengkapan data dari BPS yang akan menjadi indikator dalam penetapan kenaikan upah minimum di tahun depan. Rencananya, lanjut dia, paling lambat BPS akan mengirim data ke Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) pada 5 November.
“Kami sudah bilang, wanti-wanti paling tidak sebelum tanggal 10 itu Kemnaker sudah merilis data tersebut yang nanti dijadikan acuan normatif untuk menghitung ketetapan upah minimum di tahun 2022,” ujar Adi.
Lebih lanjut, yang diketahui bahwa permintaan buruh agar upah minimum naik 10% didasarkan oleh survei di pasar yang dilakukan oleh pihak buruh itu sendiri. Menurutnya itu lumrah saja namun tidak bisa dijadikan acuan kebijakan.
“Artinya bahwa itu tidak bisa dipertanggungjawabkan, apalagi dia surveinya itu yang jadi parameter adalah KHL (kebutuhan hidup layak), memang KHL itu adalah indikator tapi kita sudah sama-sama tahu bahwa yang kita jadikan ketetapan itu kan dari pertumbuhan ekonomi atau inflasi, bukan dari KHL itu sendiri,” tambahnya.
SN 09/Editor