KRISIS PENDAPATAN PEKERJA/BURUH

(SPNEWS) Jakarta, Pengusaha selalu membayar pekerja/buruh berdasarkan kemampuan mereka berproduksi atau dengan kata lain berdasarkan produktivitas. Dengan alasan ini jelas sebenarnya tidak ada upah yang benar-benar layak. Upah bukan lagi legitimasi legal atas hubungan industrial, bukan lagi sebagai perwujudan atas penghargaan nilai kerja seseorang sebagai manusia yang beradab, melainkan hanya menjadi ukuran dari daya tahan hidup seseorang terhadap kebutuhan pokok. Upah sudah berubah menjadi alat hemogoni pengusaha/pemilik modal terhadap kelas pekerja/buruh. Kita tidak akan menemukan upah upah yang layak bagi kesejahteraan, tetapi kita hanya akan menemukan pengusaha/pemilik modal yang mengutak-atik upah buruh agar selalu sama nilainya dengan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.

Apabila upah karena situasi tidak sesuai dengan beban kerja maka pekerja/buruh tidak serta merta dapat meminta kenaikan upah. Boro-boro meminta kenaikan upah yang ada pekerja/buruh hanya berharap pada kemurahan hati para pengusaha/pemilik modal agar menyesuaikan dengan inflasi yang ada agar upah bisa mencukupi kebutuhan pokok. Apabila pengusaha/pemodal cuek saja dan tidak peduli dengan alasan karena mahalnya ongkos produksi maka pekerja/buruhlah yang harus menyesuaikan dengan keadaan ini.

Dengan keadaan seperti di atas maka akan sangat sulit bagi pekerja/buruh untuk memiliki rencana masa depan, sangat sulit untuk memberi nutrisi yang baik bagi keluarganya, sangat sulit untuk menyekolahkan anak-anaknya dll. Sementara itu pekerja/buruh pun sangat sulit untuk mengembangkan dirinya agar memiliki keterampilan lebih mengingat sebagian besarnya habis untuk bekerja di pabrik atau di kantor dengan pekerjaan yang itu-itu saja. Problem hidup yang dialami oleh pekerja/buruh seperti problem dapur, pendidikan anak-anaknya, kesehatan, gizi dan lain-lain, sementara beban pekerjaan seperti target produksi yang tinggi, jam kerja yang panjang dan lain-lain akan membuat motivasi pekerja/buruh hilang dan mentalnya akan jatuh pada titik nadir sementara kemiskinan semakin pasti akan diterima oleh pekerja/buruh.

Problem pendapatan pekerja/buruh ini akan terus berulang dan berulang sepanjang kebijakan upah murah masih dijalankan di negeri ini. Slogan pekerja/buruh adalah mitra pengusaha/pemilik modal masih menjadi pemanis bibir saja dan tidak menjadi kenyataan. Padahal mesin-mesin produksi hanya dapat berproduksi dan menghasilkan karena adanya para pekerja/buruh. Sudah seharusnya pekerja/buruh diberikan upah layak yang bisa memberikan kesejahteraan bagi dirinya beserta keluarganya sehingga semua problem yang menimpa pekerja/buruh dapat dikurangi secara perlahan. Ada 49 juta lebih buruh di Indonesia tinggal dikali 2 atau 3 untuk menggambarkan jumlah keluarga “miskin’ yang ada. Tidak mungkin selamanya pekerja/buruh bergantung kepada kebijakan upah minimum sudah saatnya beralih kepada kebijakan upah layak yang pada gilirannya bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di kalangan pekerja/buruh yang nota bane merupakan jumlah terbesar dari warga negara Indonesia. Apakah kebijakan Struktur dan Skala upah bisa menjawab persoalan ini?, masih harus dibuktikan karena mayoritas perusahaan yang ada belum menjalankan ketentuan ini dan banyak pula sp/sb yang tidak berani menuntut hal ini.

Shanto dari berbagai sumber/Coed