LAWAN PERSEKUSI DALAM KETENAGAKERJAAN

(SPN News) Akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah Persekusi. Sebenarnya pengertian Persekusi itu sendiri apa? Persekusi itu berbeda dengan main hakim sendiri, dalam arti yang sebenarnya persekusi merupakan tindakan memburu seseorang atau golongan tertentu yang dilakukan suatu pihak secara sewenang-wenang dan sistematis juga luas, jadi beda dengan main hakim sendiri. Menurut wikipedia definisi Persekusi (persecution) adalah perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan yang didefinisikan di dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Timbulnya penderitaan, pelecehan, penahanan, ketakutan, dan berbagai faktor lain dapat menjadi indikator munculnya persekusi, tetapi hanya penderitaan yang cukup berat yang dapat dikelompokkan sebagai persekusi. Persekusi secara implisit dapat dimaksudkan sebagai suatu ancaman yang dilakukan oleh negara, penganiayaan oleh aparat polisi atau tentara yang melakukan tekanan terhadap penduduk sipil, dapat berupa tekanan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik. Dikarenakan adanya ketakutan akan persekusi tersebut maka ia tidak mau atau tidak dapat memanfaatkan perlindungan dari negaranya sehingga ia berkeinginan untuk berada di luar negaranya.

Untuk lebih mudahnya Persekusi adalah perburuan manusia untuk dihakimi semena-mena dan ini merupakan kejahatan kemanusiaan (Crime against Humanity). Jadi, kalau ada yang datang memaksa masuk ke rumah atau kantor yang merupakan wilayah privat (melanggar KUHP Pasal 167 ayat 1 tentang masuk pekarangan orang lain: pidana penjara 9 bulan), dan kemudian memaksa untuk menandatangani pernyataan maaf (melanggar KUHP Pasal 335 ayat 1 butir 1 tentang perbuatan tidak menyenangkan: pidana penjara 1 tahun) dan jika menolak maka akan membawa paksa target ke kantor polisi di luar kehendak yang bersangkutan (melanggar KUHP Pasal 333 ayat (1) tentang penculikan: pidana penjara 8 tahun) dengan alasan karena si target dianggap telah melakukan penghinaan agama. (Pasal 156a: pidana penjara 5 tahun). Beruntung, Indonesia masih belum mengadopsi Statuta Konvensi Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Padahal, kalau sudah maka individu (tidak hanya negara) pelaku persekusi atau perburuan manusia yang disertai latar belakang kejahatan kemanusiaan, genosida atau kejahatan perang dapat juga sekalian dihadapkan ke Pengadilan Kriminal Internasional di DenHaag untuk dikurung seumur hidup di Belanda.

Pasal 167 ayat (1) KUHP :

“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lima sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Pasal 335 ayat (1) butir (1) KUHP :

“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”

Pasal 333 KUHP ayat (1):

”Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”.

Pasal 7 ayat (1) (h):

“Persecution against any identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender . . . or other grounds that are universally recognized as impermissible under international law” as a crime against humanity, terjemahannya  “Persekusi terhadap sekelompok orang berdasarkan identitas politik, ras, kewarganegaraan, suku, agama, gender…atau alasan lainnya yang diakui secara luas tidak dapat dibenarkan berdasarkan hukum internasional” sebagai kejahatan kemanusiaan.

Dalam Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan “” pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Akan tetapi, penetapan tersebut tidak diperlukan, salah satunya, dalam hal pekerja/buruh mencapai usia pensiun diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan”. Jadi apabila pekerja/buruh di PHK sepihak itu merupakan tindakan persekusi Management perusahaan dan apabila pekerja/buruh berserikat di PHK sepihak ini termasuk tindakan persekusi Direksi Perusahaan.

Shanto dari narasumber Djoko Heriono Ketua DPP SPN Bidang Advokasi/Coed