(SPN News) Bogor, 24 September 2016 dalam rangkaian workshop nasional DPP SPN menyelenggarakan workshop terkait dengan sistem pengupahan. Workshop ini selain dihadiri oleh jajaran pengurus DPP juga dihadiri oleh ketua dan Sekretaris dari DPD dan DPC peserta Rakornas dan workshop serta anggota dari dewan pengupahan unsur SPN baik di tingkat kota, kabupaten dan provinsi.

Workshop dimulai pukul 08.50 WIB, diawali pembukaan dan pengantar dari Ketua Umum DPP SPN Iwan Kusmawan SH, selanjutnya materi workshop di sampaikan oleh Zulkipli yang menyoroti bahwa sistem pengupahan yang seharusnya berdasarkan dengan UU No 13 Tahun 2003 tetapi dengan kemunculan No 78 Tahun 2015 menjadi berubah, karena tidak ada lagi yang namanya survei KHL, semua Depeko/Depekab/Depeprof hanya menunggu pengumuman nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi dari pemerintah. Menurut informasi yang diterima, pemerintah hanya mematok angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% dan inflasi sebesar 4,2% tetapi berdasarkan data terakhir malah terjadi deflasi dan semakin menunjukkan kalau kenaikan upah apabila berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi maka angkanya akan berada dibawah 10%. Oleh karena itu penting sekali agar anggota Dewan Pengupahan untuk sering berkordinasi dengan perangkat di daerah dan di pusat. Perlu dilakukan langkah-langkah strategis terkait ini apalagi apabila dihubungkan dengan akan diadakannya pilkada serentak dibeberapa daerah. Selanjutnya bung Dzulkipli menyampaikan secara detail tentang sistem pengupahan.

Baca juga:  STRUKTUR DAN SKALA UPAH WAJIB DISUSUN PENGUSAHA DENGAN MEMPERHATIKAN GOLONGAN, JABATAN MASA KERJA PENDIDIKAN DAN KOMPETENSI. 

Selanjutnya Djoko Heriyono menambahkan beberapa informasi terkait sistem pengupahan apabila dikaitkan dengan PP No 78 Tahun 2015. Dari data yang diperoleh dalam kenaikan UMK tahun 2016 ternyata ada juga pemimpin daerah yang menetapkan kenaikan UMKnya tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PP tersebut. Seperti di DKI Jakarta, Kalimantan Timur dll. Jadi ini membuktikan bahwa penerapan PP ini juga menimbulkan polemik bagi pemimpin di daerah, jadi masih ada peluang untuk menyiasati kenaikan upah ini yaitu dengan melakukan pendekatan kepada masing-masing pemimpin di daerah. Sebenarnya dalam sistem pengupahan di Indonesia tidak dikenal Upah Padat Karya, karena yang dikenal hanya Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral. Disampaikan juga tentang kewajiban dari pengusaha untuk menyusun Struktur dan Skala Upah.

Baca juga:  DALAM RUU PPRT, PEKERJA RUMAH TANGGA WAJIB MENDAPAT JAMINAN KESEHATAN DAN KETENAGAKERJAAN

Setelah penyampaian materi, workshop dilanjutkan dengan laporan dari Dewan Pengupahan baik itu tingkat Kota/Kabupaten maupun dari provinsi. Diawali dari DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Banten dan Jawa Barat. Dalam laporannya masing-masing daerah melaporkan semua kegiatan yang telah dilakukan dan juga dilaporkan tentang adanya permintaan pembahasan dari apindo dan pemerintah terkait Upah Padat Karya di beberapa daerah serta Upah UKM di DKI Jakarta.

Kesimpulan workshop ini kemudian disampaikan oleh Iwan Kusmawan SH bahwa harus dilakukan langkah advokasi untuk terus menolak PP No 78 Tahun 2015, karena dengan pemberlakuan PP ini survei KHL yang biasa dilakukan berubah menjadi survei studi banding dan ini sama sekali tidak ada dasar hukumnya sehingga ada indikasi penyelewengan anggaran, masih banyak perusahaan yang tidak menjalankan SK Gubernur, penetapan Upah Padat Karya menimbulkan resistensi sehingga harus dilakukan advokasi, SPN harus mendorong unsur buruh di dalam Dewan Pengupahan untuk melakukan survei pembanding, mendorong agar daerah yang sudah menetapkan UMK untuk tidak lagi menetapkan UMP.

Setelah menyampaikan kesimpulan ini secara keseluruhan penyampaian materi workshop tentang pengupahan pun selesai.

 

Shanto/Coed