Buruh selalu ditempatkan dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Hak-hak buruh selalu dikerdilkan oleh regulasi aturan yang berbelit-belit yang dibuat oleh para pemangku kebijakan dengan tanpa melibatkan dan memikirkan kesejahteraan kaum buruh. Tampak sekali kebijakan yang dibuat hanya untuk memfasilitasi kepentingan tertentu seperti investasi dan akhirnya kebijakan tersebut menerobos ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Memang didalam UU No 13 Tahun 2003 tidak ditafsirkan secara jelas terkait penentuan upah dan ketentuan yang mengaturnya secara teknis. Yang akhirnya perbedaan kepentingan menyulitkan bagi buruh dan pengusaha untuk menemukan kesepakatan di dalam penentuan upah tersebut.

Kebijakan dalam PP No 78 Tahun 2015 menetapkan tentang formula pengupahan dan mewajibkan para pengusaha menentukan struktur dan skala upah. Formulasi penentuan upah minimum ditentukan oleh faktor inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Terkait dengan formula pengupahan ini yang meniadakan survei kehidupan hidup layak (KHL) dan mengkebiri fungsi dari Dewan Pengupahan merupakan kesalahan fatal, karena menggunakan upah berbasis angka semu (data BPS) dan bukan upah berdasarkan daya beli rill masyarakat.

Pasal 88 ayat (4) UU No 13 Tahun 2003 menyatakan “pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”. Pertumbuhan ekonomi tidak tepat digunakan sebagai indikator kenaikan upah minimum karena sama sekali tidak menggambarkan kemampuan dan daya beli buruh,. Pertumbuhan ekonomi merupakan variabel makro ekonomi yang tidak relevan menjadi indikator perhitungan kenaikan upah.

Ketentuan pasal 89 ayat (3) UU No 13 Tahun 2003 mengamanatkan bahwa penetapan upah minimum dilakukan Gubernur atas rekomendasi Dewan Pengupahan di wilayah provinsi, kabupaten/kota, atau sektor tertentu. Tetapi dengan diberlakukannya  PP No 78 Tahun 2015 maka keberadaan Dewan Pengupahan seolah-olah tidak diperlukan lagi. Padahal pembentukan PP Pengupahan itu merujuk dan tidak boleh bertentangan dengan UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Baca juga:  JANNUARDI DIPHK DENGAN TUDUHAN MEMBAWA SENJATA TAJAM

Terkait struktur dan skala upah, pasal 14 PP No 78 Tahun 2015 menjelaskan tentang struktur dan skala upah, tetapi tidak disebutkan bahwa pekerja berhak untuk mengetahui struktur dan skala upah yang berlaku di perusahaan. Struktur dan skala upah yang tidak transparan akan memunculkan diskriminasi dan kecemburuan upah dikalangan pekerja. Selama ini banyak masalah yang timbul karena pengusaha tidak transparan tentang struktur dan skala upah. Jika struktur dan skala upah itu dibuat secara terbuka dan transparan serta diketahui oleh seluruh pekerja, maka para pekerja akan lebih dapat berkompetisi dengan cara sehat dan produktif.

Pada pasal 11 PP No 78 Tahun 2015 terkesan tidak mempertimbangkan aspek masa kerja. Seorang pekerja yang telah bekerja lama akan memiliki upah yang sama dengan yang telah bekerja selama satu tahun, khususnya bagi pekerja yang mengerjakan pekerjaan yang nilainya sama.

Pasal 24 PP No 78 Tahun 2015 mengancam pekerja yang melakukan mogok kerja atau demo tidak sesuai prosedur yang diatur UU Ketenagakerjaan tidak akan mendapat upah. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa apabila mengerjakan tugas serikat pekerja harus dengan persetujuan pengusaha, ini berarti bahwa mogok kerja atau demo sesuai prosedur pun tidak akan pernah menjadi legal karena pasti akan tidak disetujui oleh pengusaha. Padahal dalam UU No 13 tahun 2003 secara tegas mengamanatkan bahwa pekerja yang melakukan mogok kerja sesuai prosedur upahnya tetap dibayar. Hal ini bertentangan dengan pasal 102 ayat (2) UU No 13 tahun 2003 dalam menjalankan hubungan industrial, serikat buruh mempunyai fungsi untuk menyampaikan aspirasi dari buruh secara demokratis dan memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat tetapi dengan pasal 24 PP ini maka hak-hak tersebut menjadi hilang.

Baca juga:  PERUSAHAAN TUNTUT BURUH BAYAR GANTI RUGI KARENA MOGOK KERJA

Pasal 42 ayat (1) PP No 78 Tahun 2015 menyebut bahwa upah minimum diberlakukan untuk pekerja dengan masa kerja dibawah satu tahun. Dengan aturan ini maka pekerja yang berkeluarga dengan masa kerja di bawah satu tahun bisa dikenakan upah  minimum, padahal dalam aturan sebelumnya menyebutkan upah minimum hanya untuk pekerja dengan masa kerja nol tahun atau lajang. Sedangkan pada pasal 42 ayat (2) PP No 78 Tahun 2015 menyebut upah minimum bagi buruh yang masa kerjanya satu tahun atau lebih dirundingkan secara bipartite antara pemerintah dan pengusaha, hal ini tentu saja memberangus keberadaan Lembaga Tripartit Nasional (LKS TRIPNAS) yang terdiri dari unsur pemerintah, buruh dan pengusaha (Pasal 103 huruf d UU No 13 Tahun 2003.

Berdasarkan uraian diatas sangat jelas bahwa keberadaan PP No 78 Tahun 2015 bertabrakan dan bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003 sehingga sangat masuk akal kalau pemerintah merevisi atau bahkan mencabut PP tersebut. Oleh karena itu sangat penting ada good will dari pemerintah terkait kebijakan ini karena jangan hanya untuk investasi akhirnya kesejahteraan buruh yang notabane rakyat Indonesia di korbankan.

 

Shanto dari berbagai sumber/Coed