​Upah adalah Hak Pekerja, yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang, sebagai imbalan, dari pengusaha, atau pemberi kerja, kepada pekerja, yang ditetapkan dan dibayarkan, menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan buat pekerja, dan keluarganya, atas suatu pekerjaan, atau jasa, yang telah atau yang akan dilakukan. (Pasal 1, ayat 1 PP 78 Tahun 2015). Penghasilan yang layak, merupakan jumlah penerimaan, atau pendapatan pekerja, dari hasil pekerjaannya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja, dan keluarganya secara wajar (Pasal 4 ayat 1 PP 78 Tahun 2015).

Sejak perlambatan ekonomi global, menjadi persoalan yang sangat serius di berbagai negara, sebab dengan perlambatan ekonomi, menjadikan kegiatan ekonomi menjadi perhatian yang cukup serius dalam membuat kebijakan. Indonesia, yang meyakini bahwa Trisakti adalah suatu metode yang paling “benar”, dalam mengelola berbagai potensi negeri ini, namun dengan persoalan perlambatan ekonomi, pemerintah berkompromi dengan sistem kapitalisme, dengan menebar investasi di berbagai belahan negeri, dari sabang sampai merauke, bahkan keseriusan pemerintah dengan rencana ini adalah dibatalkannya ribuan Perda yang dianggap menghambat investasi. Sebab dengan memperlancar investasi, pemerintah berharap akan terjadi kegiatan ekonomi yang masif, meningkatkan pendapatan perkapita, juga mampu membangkitkan kegiatan ekonomi, perdagangan produksi transportasi dll.

Pad dekade 2016, kebijakan ini cukup efektif, membangkitkan gairah kegiatan ekonomi, namun hal ini tidak bertahan lama, signyalmen kapitalisme mencoba mengendalikan kebijakan  pemerintah, yaitu diterapkanya PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan, yang diterapkan  mulai tahun 2016, dengan berbagai penyesuaian, namun pada akhir 2016, pemerintah memiliki kekuatan penuh menerapkan PP 78 tahun 2015, namun justru dengan tafsiran “sepihak”, mencabut dari akar peraturan yaitu UU no 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan.
Fenomena ini dapat diketahui berawal dari, besarnya intervensi Menakertrans pada Dewan Pengupahan, dari pusat sampai daerah bahkan sampai kabupaten kota, yang ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan tanggal 17 Oktober 2016 Nomor B. 175/MEN/PHUSK-UPAH/X/2016 perihal Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2016, di mana ditetapkan Inflasi Nasional sebesar  3,07 (tiga koma nol tujuh persen) dan Pertumbuhan Ekonomi (Petumbuhan PDB) sebesar 5,18 (lima koma delapan belas persen). Kebijakan ini tentu tidak sesuai dengan UU no 13 Tahun 2003 tentang Pengupahan pasal 88 dan pasal 89. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 27. Dengan demikian bahwa PP 78 Tahun 2015 baik langsung maupun tidak langsung, telah melakukan pemakzulan terhadap fungsi dari Dewan Pengupahan baik di Provinsi maupun Kabupaten Kota. Bahwa PP 78 Tahun 2015 telah mengalahkan UU no 13 Tahun 2003, sehingga Pemerintah melalui Menakertrans, telah memaksakan agar kenaikan UMK se Indonesia sebesar 8,25%, hal ini sesungguhnya sangat merugikan buat pekerja di wilayah Jawa Timur, yang Inflasi juga pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari inflasi juga pertumbuhan ekonomi nasional yaitu sebesar 8,51%.

Baca juga:  SIDANG KRIMINALISASI 2 AKTIVIS BURUH PT GNI, HAKIM TIDAK CERMAT DALAM MENILAI SURAT DAKWAAN JPU

Realisasi kebijakan ini, di Jawa Timur telah direalisasikan, melalui Pergub Jawa Timur nomor 121 tahun 2016 tentang UMK se Jawa Timur. Dengan kenaikan 8,15% dari UMK sebelumnya. Kenaikan ini dilaksanakan per 1 Januari 2017, di seluruh wilayah Jawa Timur. Namun ironisnya kenaikan UMK yang sangat kecil tersebut, dibarengi dengan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak populis, di antaranya adalah Kenaikan TDL, BBM juga kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kenaikan harga jual BBK & Solar keekonomian, yang berimbas pada melonjaknya bumbu-bumbu, di antaranya Cabe, bawang dll. Tidak kalah heroik, Pemprov Jatim juga telah menerbitkan Pergub 120/71/101/2017, yang melegalisasi SPP, pada tahun pelajaran 2017/2018, untuk siswa tingkat SMA/SMK sederajat yang besarannya sekitar 80,100 sd 150rb perbulan. Kondisi ini semakin memperparah kondisi pekerja yang memiliki anak usia SMA/SMK/Sederajat. Hal ini tentu kita pahami, bahwa UMK yang sejatinya adalah Upah Minimum, yang dihitung dari KHL pekerja Lajang (di mana hal ini semakin kecil nilainya akibat PP 78 Tahun 2015), peraturan ini sesungguhnya UMK ini diperuntukkan untuk pekerja, yang bekerja dari 0 sd 1 tahun, di mana masa kerja lebih dari satu tahun, maka pekerja akan diberi upah sesuai dengan skala upah yang berlaku di perusahaan masing-masing.

Tentu bukan hal yang tabu, meski UMK sebegitu rendah taraf kesejahteraanya, tidak sedikit perusahaan yang masih saja “enggan” untuk membayar upah sesuai UMK, dengan berbagai alasan serta alibi, atau mensiasati dengan berbagai kelemahan aturan hukum “penangguhan” dll. Selain kesadaran pembayaran pekerja sesuai UMK yang tidak 100%, sangat sedikit perusahaan yang berkenan membuat skala upah, meskipun perusahaan tersebut puluhan tahun telah melaksanakan kegiatan industri, maka tidak heran jika ada pekerja yang puluhan tahun tapi upahnya masih saja sesuai UMK diwilayah tersebut. Jika dihubungkan dengan kondisi ekonomi 2017, yang sangat labil, maka sudah jelas pekerja yang sudah puluhan tahun namun digaji cuman UMK, tentu dia sudah beranak pinak, bahkan ada yang sudah memiliki cucu, pertanyaanya apakah cukup UMK untuk memenuhi segala keperluan keluarganya? Jika anak juga cucunya sekolah maka kondisinya tentu akan semakin parah. Bukankah situasi ini yang kemudian menjerumuskan, pekerja beserta keluarganya, ke arah “kemiskinan” jika tidak ada faktor X dalam memenuhi keperluan keluarganya. Dalam tulisan ini penulis mengajak, untuk memikirkan nasib pekerja di seluruh Indonesia, yang sedang mengalami kerentanan ekonomi yang sangat luar biasa. Jika hal ini terus terjadi, maka jangan heran jika semakin banyak pekerja perempuan terlibat didalam kegiatan Industri, Pekerja anak bertebaran dimana mana, anak putus sekolah akibat ketidak mampuan mencukupi biaya pendidikan, juga mengarah pada menurunnya kwalitas kesejahteraan pekerja.

Baca juga:  PSP SPN KAWASAN INDUSTRI PT NIKOMAS GEMILANG PEDULI KORBAN BENCANA GEMPA BUMI DI LOMBOK 

Hal ini tentu, sangat besar dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, di dalam membuat kebijakan tentang pengupahan, kebijakan fiskal, kebijakan dalam memperbesar Pendapatan dengan sasaran masyarakat kecil. Hal ini tidak cuman bicara tentang Pemerintahan Pusat, Propinsi bahkan hal ini juga dilakukan oleh pemerintahan Kabupaten/kota, bagaimana tidak di Lamongan sejak 2017 tarif parkir kendaraan telah meningkat sebesar 50% sampai dengan 100%, tanpa melalui mekanisme revisi regulasi hukum (Perda Retribusi Parkir). Oleh sebab itu, penulis menyerukan kepada pembaca, di mana saja berada, jika pembaca adalah pekerja, suami pekerja, istri  pekerja, saudara pekerja, atau famili pekerja, maka penulis menyarankan agar memberikan nasihat kepada pekerja agar berkenan berserikat, jika pembaca sepemikiran dengan penulis, kebetulan penulis aktif di Serikat Pekerja Nasional (SPN), maka penulis mempersilahkan agar pekerja berbondong bondong bergabung dalam SPN, untuk berjuang bersama meningkatkan derajat kesejahteraan pekerja Nasional.

ARI HIDAYAT SE/Coed