​(SPNEWS) Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan masyarakat Indonesia, seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945 (Konsederan UU no 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan).
Berbicara tentang Ketenagakerjaan, seakan tidak akan ada habisnya, sebab pekerja selalu menemui perjuangan sesuai dengan masa masing-masing, sebut saja sejarah tentang jam kerja, yang merupakan keberhasilan perjuangan pekerja Amerika Serikat, yang mempengaruhi jam kerja seluruh pekerja di Dunia. Atau tidak kalah heroiknya tentang perjuangan pekerja Pra Kemerdekaan, atau tentang Sistem Kerja Kontrak atau Outsorcing, yang sampai hari ini menjadi gurita di negeri ini.

Kali ini babak baru perjuangan pekerja menemui tahapan yang berbeda, kaum pekerja sedang berhadap hadapan dengan rentetan kepentingan pengusaha atau perusahaan yang sering di sebut Kapitalisme. Pada tahapan ini pemerintah adalah kunci dari perbedaan kepentingan antara pekerja dengan pengusaha, hal tersebut tidak lain adalah problem klasik yaitu tentang Pengupahan, sebab sudah tidak populer lagi istilah tentang nilai lebih yang sering di sebut Karl Mark, kini upah atau sistem pengupahan sudah tidak lagi memperhitungkan keuntungan produksi, hal itu karena peraturan dinegeri ini, lebih santun dengan menggunakan sistem upah didasarkan pada KHL pekerja.

Pertentangan kaum pekerja dengan pengusaha, memang telah di atur sedemikian rupa melalui serangkaian sisten peraturan tentang ketenaga kerjaan juga dengan tentang pengupahan, kita tidak pernah tahu hal itu lebih baik buat pekerja atau lebih baik buat pengusaha, paling tidak dengan sistem ini telah memoderasi meruncingnya pertentangan kelas menurut Karl Mark yang tidak akan pernah dapat didamaikan. Mengapa tidak pernah tahu lebih baik atau tidak? Hal itu tidak lain adalah tentang tafsir peraturan oleh pemerintah (Pelaksana peraturan tersebut), bagaimana tidak dalam teori undang-undang kedudukannya akan lebih tinggi dengan peraturan pemerintah, namun kayaknya hal ini tidak berlaku jika kita bicara tentang Pengupahan.

PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, adalah suatu peraturan yang dibuat pemerintah, yang mengatur tentang sistem pengupahan di Indonesia, sejak terbitnya peraturan pemerintah ini kontrofersi seakan tidak pernah luput dari peraturan yang terkesan dipaksakan ini, kita tidak pernah paham misteri peraturan ini, apakah dengan ini pemerintah telah berpihak kepada kapitalisme atau berpihak kepada pekerja sesuai kewajibannya.

Baca juga:  MENAKER SEBUT INDEKS O,10-0,30 BERASAL DARI KONTRIBUSI TENAGA KERJA

Namun realitasnya PP 78 Tahun 2015, yang diterapkan penuh untuk menentukan UMK Tahun 2017, telah mampu menghegemoni seluruh UMK di Indonesia, dimana UMK se Indonesia mengalami kenaikan 8,25% sesuai nilai Inflasi serta pertumbuhan Ekonomi Nasional, tentu saja dengan ini, PP 78 Tahun 2015, telah mengisyaratkan sistem pengupahan telah bersistem Sentralistik, yang ditentukan oleh Kementrian Tenaga  Kerja dan Transmigrasi beserta kelengkapan pengupahan Nasional.

Dengan demikian, telah resmi PP 78 Tahun 2015 tidak sesuai dengan sistematika hukum di Indonesia, mengapa demikian? Sebab PP 78 Tahun 2015 telah bertentangan dengan UU Ketenaga Kerjaan Pasal 88 juga Pasal 89. Serta telah mengabaikan berbagai usulan Dewan Pengupahan, baik Kabupaten Kota maupun Dewan Pengupahan Propinsi. Maka tidak heran jika PP 78 Tahun 2015 telah banyak di tentang oleh elemen pekerja di wilayah Indonesia, sebab dengan adalnya PP 78 Tahun 2015, telah menghilangkan sistem pengupahan yang otonom di tiap kabupaten kota ataupaun propinsi, selain itu dalam penentuan KHL yang di tinjau 5 tahun sekali dianggap sangat tidak relevan, sebab fluktuasi harga di Indonesia sangatlaha labil, jangankan 5 Tahun dalam 1 tahun dimungkinkan terjadi kenaikan harga yang sangat signifikan berkali kali.

Contoh saja UMK 2017, yang sejak 1 januari 2017, mulai dilaksanakan, namun gelombang kenaikan harga untuk beberapa kebutuhan naik berlipat-lipat, akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak populis, dengan menaikan Kebutuhan massal diantaranya adalah kenaikan TDL, STNK dan BPKB, BBM, yang kemudian latah diikuti serangkaian kenaikan kenaikan yang lain. Tentu saja hal ini kemudian menghilangkan manfaat dari kenaikan Upah di Tahun 2017, justru yang ada adalah beban biaya yang kemudian ditanggung pekerja semakin banyak.

Ini adalah kejutan tahap awal dari PP 78 ttahun 2015, yang kemungkinan akan menjadikan Upah di Indonesia sangat murah, hingga untuk pekerja lajangpun, kemungkinan perlu mengencangkan ikat pinggang untuk survive dalam kedaan seperti ini. Rentetan panjang akibat PP 78 Tahun 2015, baik akan menurunkan jumlah perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, sebab kondisi seperti ini banyak memerlukan peranan perempuan dalam berkontribusi memenuhi keperluan keluarga, selain itu munculnya kebijakan SPP yang akan diterapkan ditahun 2017 ini, berpotensi untuk meningkatkan angka putus sekolah, meskipun besarannya masih belum dapat diperediksi, bahkan berpotensi meningkatkan angka pekerja anak. Hal ini tidak menafikkan upayah pemerintah dalam meningkatkan taraf pendidikan 12 tahun.

Baca juga:  SUDAH DIMENANGKAN DI MA, DWI MEI SURYANTI TETAP DIGUGAT PERUSAHAAN

Pada kesempatan ini penulis tidak mengupas mendalam tentang rentetan efek dari PP 78 Tahun 2015, namun lebih pada pandangan kedepan tentang PP 78 Tahun 2015, sebab menurut penulis sampai hari ini PP 78 tahun 2015, cuman memberikan efek negatif terhadap pekerja, ibarat kata menenggelamkan harapan sejahterah buat pekerja, sebab dalam 3 tahun kedepan sampai ada survey KHL maka UMK pekerja tidak akan mengalami kenaikan signifikan, sedangkan masih banyak perusahaan yang mensiasati berbagai aturan agar tidak membayar pekerja sesuai UMK, tidak cuman itu banyak juga perusahaan yang enggan membuat Skala Upah, sehingga meski bekerja puluhan tahun pekerja tetap saja mendapat upah UMK, sungguh tidak manusiawi.

Namun, akankah pemerintah akan konsisten dengan PP 78 Tahun 2015, atau akan pura pura kalah dengan tuntutan pekerja disaat menjelang peninjauan KHL yang ditentukan PP 78 Tahun 2015 dilaksanakan 5 Tahun sekali. Mengapa demikian?

Hal ini tidak lain, adalah tentang skenario pengupahan di Indonesia, jika PP 78 Tahun 2015, diterapkan untuk UMK 2017, dengan kesamaan kenaikan yang sama se Indonesia sebesar 8,25%, mungkinkah hal ini akan konsisten dilakukan juga untuk hasil survey mendatang? Jika memang demikian penulis sudah tidak sabar lagi menunggu kejutan ini.

Mengapa demikian?

Sebab dengan penentuan KHL yang dulu terdiri dari 60 item kebutuhan dasar pekerja dilakukan se Indonesia cuman satu, yaitu ditentukan oleh pemerintah pusat (Kemenakertrans) beserta Dewan Pengupahan Nasional, maka yang ada adalah menyetaraan upah Se Indonesia.

Apakah ini baik?

Sekali lagi, kebijakan ini masih misterius, semisterius konsistensi pemerintah, apakah berpihak pada pekerja atau berpihak ke pengusaha.

Oleh sebab itu, dengan sekelumit tulisan ini, penulis bermaksud untuk menginformasikan, sesuatu yang seakan naif, atau sesuatu yang tidak mungkin, yaitu tentang kesetaraan Upah dari berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika hal ini dilakukan, maka adakah yang di untungkan, atau adakah yang dirugikan, tentu saja hal itu tidak bisa kita tentukan hari ini.

Namun, apabila hal ini tidak dilakukan dengan berbagai alasan, maka pekerja di ring 2, ring 3, sesuangguhnya akan selalu gigit jari, sebab pada masa sengsara penetapat PP 78 Tahun 2015, yang saat ini kita alami, seluruh pekerja merasakan kenaikan yang kecil tanpa pengecualian baik ring 1, ring 2, ring 3 kenaikannya cuman 8,25%.

Ari Hidayat SE/Coed